Powered By Blogger

Selasa, 30 Maret 2010

Sebab-sebab kematian karang dan Sumber Nutrisi Terumbu Karang

Sebab-sebab kematian karang
Akibat Alam ( natural Causes )
a. Ledakan populasi Acanthaster planci
Achanthaster planci merupakan predator karang, jika populasi meledak (outbreak) dapat merusak terumbu karang secara luas dengan jalan memangsa polip-polip karang. Jika populasinya meledak dapat merusak terumbu kiarang sampai >60%. Acanthaster planci tumbuh berasosiasi dengan terumbu karang.
Acanthaster planci merupakan hewan predator yang merusak koloni karang dan dapat merubah sruktur komunitas karang. Acanthster planci adalah hewan besar dan bertangan banyak. Hewan ini hanya memakan jaringan hidup atau polip karang. Karena ukurannya yang besar, ia mampu merusak seluruh koloni selama ia makan. Populasi hewan ini bisa sangat melimpah jika predator utamanya, yaitu siput raksasa (Charonia tritonis) berkurang di alam akibat diambil untuk dijadikan hiasan.

b. Pemanasan global
Pemanasan global adalah gejala meningkatnya suhu bumi akibat menipisnya lapisan ozon yang membuat es di daerah kutub mencair. Dengan mencairnya es di kutub akan mengakibatkan kenaikan muka air laut.
Kejadian atau gejala alam di bumi berpengaruh terhadap kehidupan organism perairan baik secara langsung maupun tidak langsung, salah satu gejala alam yang berpengaruh langsung terhadap struktur kehidupan biotic dan abiotik perairan adalah pemanasan global. Pemanasan global berdampak buruk bagi biota perairan khususnya karang. Peningkatan suhu permukaan perairan menyebabkan kematian karang pada skala yang luas. Kematian karang ditandai dengan pemutihan (bleaching) akibat oleh keluarnya zooxantehella dari polip karang. Pemutihan yang berlangsung lama (3-6 bulan) bisa menyebabkan kematian karang > 70%. Tahun 1998 merupakan pemutihan yang terloas dengan kematian karang yang tinggi di Samudera Pasifik dan Laut Karabia.

c. Gempa/tsunami dan banjir
Gejala alam berupa gempa bumi/tsunami secara langsung berpengaruh pada berbagai aspek, baik kehidupan di darat maupun di perairan laut. Gemap bumi ataupun tsunami menyebabkan kerusakan dan penurunan kualitas sumber daya laut. Karang sebagai ekosistem kunci di wilayah perairan mendapat tekanan berat hantaman dan pengadukan air akibat gempa dan tsunami.
Banjir yang terjadi pada suatu wilayah menyebabkan kerusakan pada ekosistem laut khususnya karang. Proses pencampuran air tawar dengan air laut menyebabkan penurunan salinitas air laut sehingga terjadi perubahan komposisi kimia air laut. Kita ketahui bahwa karang hidup pada salinitas air laut normal ( 30-35 ppt). jadi penurunan kadar garam air laut akibat banjir akan mempengaruhi kehidupan (pertumbuhan) dan dalam kondisi yang parah bisa menyebabkan kamatian.
Selain penurunan salinitas air laut, banjir juga menyebabkan terjadinya pengadukan sedimen dasar perairan yang kemudian terangkut dan terbawa arus, sehingga banjir dapat menyebabkan meningkatnya laju sedimentasi. Tingginya laju sedimentasi pada wilayah perairan laut menyebabkan proses pengambilan makanan karang dan proses fotosintesis zooxanthella terhambat karena jaringan tubuh karang tertutupi oleh sedimen yang akhirnya mempengaruhi pertumbuhan.

Aktivitas Manusia ( Anthropogeneic )
a. Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan
Penangkapan ikan tidak ramah lingkungan merupakan jenis aktivitas penangkapan di laut yang merusak. Beberapa jenis aktivitas itu antara lain : penagkapan dengan bom ikan, racun sianida / potas, penggunaan alat tangkap trawl ( jarring dasar yang ditarik), dan bubu.
Ada beberapa sebab munculnya permasalahan ini, antara lain:
• Kemiskinan merupakan alas an nyata nelayan melakukan kegiatan penangkapan tidak ramah lingkungan
• Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang fungsi dan mafaat terumbu karang bagi kehidupan.
• Kurangnya koordinasi dan pengawasan dari pemerintah menyababkan degradasi habitat karang.

b. Pencemaran
Peningkatan aktivitas masyarakat di wilayah pesisir berupa kegiatan pencemaran antara lain limbah minyak, sampah plastic dan bahan-bahan kimia yang dapat mengganggu keseimbangan ekosistem terumbu karang. Laut sebagai jalur transportasi perdagangan dan jasa sosial menuai berbagai persoalan dalam tata lingkungan. Tumpahan kapal tangki raksasa akan melepaskan limbah minyak dan dapat menutupi permukaan karang atau juga mengurangi penetrasi cahaya. Selain itu, juga dapat menyebabkan kematian pada berbagai biota laut komersil; antara lain: ikan, kerang, udang dan kepiting serta biota lainnya.
Selain pencemaran minyak, sampah plastic juga banyak terdapat perairan Indonesia. Sampah-sampah plastic yang terdapat pada perairan menutupi permukaan perairan yang dapat menghalangi proses fotosintesis zooxanthella pada karang.

c. Penggundulan hutan/konversi lahan
Tingginya pemanfaatan masyarakat terhadap kayu dari produksi hutan, khususnya hutan mangrove/ bakau untuk berbagai kepentingan antara lain: perumahan, kayu bakar dan lain-lain. Penebangan hutan secara liar menyebabkan erosi sedimentasi. Tingginya laju sedimentasi pada wilayah perairan dapat menyumbat jaringan tubuh biota laut, selain itu juga menganggu pengambilan makanan dari karang.

SUMBER NUTRISI PADA KARANG
Karang memiliki dua cara medapatkan makanan yaitu menerima pemindahan (translocated) produk fotosintesis dari zooxanthella dan menangkap zooplankton dengan polypnya (Muller-Parker dan D’Ellia, 1997),dan sebagian besar coral makan pada malam hari (Barnes, 1987).
Terumbu karang (coral reef) adalah gambaran terbaik dalam cara adaptasi polytrophic, yang berarti dapat memperoleh energi dari bermacam-macam sumber . Data jumlah energi yang dapatkan coral secara autotropik dan heterotropik tidak pasti/tidak jelas. Tetapi diduga bahwa bagian energi keseluruhan yang dihasilkan dari fotosisntesis berkisar dari lebih dari 95% dalam coral-coral autotropik sampai sekitar 50% dalam spesies heterotropik. (Barnes dan Hughes, 1997). Hampir 95% karbon organic yang dibentuk oleh zooxanthella yang dipindahkan kedalam coral inang dalam bentuk gliserol (Anominus, 2003 a), Energi yang coral inang peroleh melalui proses metabolism gliserol ini dilengkapi oleh pemangsaan organisme heterotropik yang ada disekitarnya.
Coral dapat menangkap makanan melalui phagotrophy (tentakel yang menangkap makanan yang lewat dan memasukkannya dalam mulut dimana makanan itu dicerna), dan melalui cilliary feeding (pengeluaran lapisan mucus yang menjebak partikel organik kecil yang dihembuskan ke mulut oleh rambut-rambut kecil yang disebut cilia). Coral mungkin mungkin juga mengambil bahan organic terlarut dari air laut untuk digunakan sebagai energi dasar. Sebaliknya zooxanthella menerima nutrien organic penting dari coral inang yang dilewatkan ke zooxanthella sebagai produk kotoran hewan. Beberapa nutrien anorganik juga diperoleh dari air laut.





Gambar 1. Pola aliran nutrisi pada simbiosis mutualistik coral-algae ( sumber Muller- parker dan D’Ellia, 1997 )
\
Selama fotosisntesis berlangsung, zooxanthella memfiksasi sejumlah besar karbon yang dilewatkan pada polip inangnya. Karbon ini sebagian besar dalam bentuk gliserol termasuk didalamnya glukosa dan alanin. Produk kimia ini digunakan oleh polyp untuk menjalankan fungsi metaboliknya atau sebagai pembangun blok-blok dalam rangkaian protein, lemak dan karbohidrat. Zooxanthella juga meningkatkan kemampuan coral dalam menghasilkan kalsium karbonat (Lalli dan Parsons, 1995).
Fiksasi karbon (produktivitas Primer) pada terumbu karang menempatkan ekosistem ini sebagai ekosistem paling produktif (reef flats menghasilkan sekitar 3.5 kgC/m2/tahun, dibandingkan dengan seagrass beds dan hutan hujan torpis 2 kgC/m2/tahun dan hutan gugur didaerah temperate 1 kgC/m2/tahun)(Anonimus, 2003 a) Sangat ketatnya siklus nutrien dalam simbiosis terumbu karang menjelaskan mengapa mereka sangat mampu beradaptasi terhadap lingkungan dengan nutrisi yang rendah. Mereka berkompetisi dengan kehidupan bentik dalam memperoleh ruang pada terumbu (dimana terumbu karang sendiri secara aktif membangun seperti berkompetisi satu dengan yang lain). Penambahan jumlah nutrien pada lingkungan terumbu dapat memiliki pengaruh yang merusak yang mempengaruhi terumbu karang.
Tingkat kebutuhan coral pada makanan heterotropik sebagai tambahan karbon yang dipindahkan dari simbion bergantung pada bagaimana simbion-simbion secara aktif berfotosintesis. Jika fotosintesis (P) oleh zooxantella melebihi kebutuhan untuk respirasi (R) baik oleh coral inang maupun zooxanthella (Jika P : R > 1) maka coral autotropik penuh dan tidak membutuhkan makanan tambahan. Ketika fotosintesis menurun (P:R<1) coral membutuhkan tambahan sumber makanan. Hasilnya coral pada perairan dalam membutuhkan makan lebih dibandingkan pada air dangkal (Muller-Parker dan D’Elia, 1997; Anonimus, 2003a).
Leletkin (2003), menyatakan bahwa hasil sumbangan energi dalam simbiosis coral-zooxantellae terdiri dari produksi autotrop dari zooxanthellae dan heterotrop dari suatu polyp. Pengurangannya berupa ekskresi, respirasi, perkembangan dan pertumbuhan baik pada hewan maupun algae.

Kamis, 25 Maret 2010

Keanekaragaman Spesies Terumbu Karang

Sebagian besar terumbu karang masuk dalam kelas Anthozoa (Gambar 1). Hanya dua familinya yang berka itan dengan kelas lain dari ceolenterata- Hydrozoa:Milleporidae dan Stylasteridae. Kelas Anthozoa meliputi dua subkelas Hexacoralia (atau Zoantharia) dan Octocorallia, yang berbeda asalnya, demikian pula dalam morfologi dan fisiologinya. Fungsi bangunan terumbu sebagian besar dibentuk oleh karang pembangun terumbu (hermatypic), yang membentuk endapan kapur (aragonit) massif. Kelompok karang hermatypic diwakili sebagian besar oleh ordo Scleractinia (Subklas Hexacorallia). Dua spesies dalam kelompok ini termasuk dalam ordo Octocorallia (Tubipora musica dan Heliopora coerulea), dan beberapa spesies kedalam kelas Hydrozoa (hydrocoral Millepora sp. dan Stylaster roseus). Karang hermatypik mengandung alga simbion zooxanthellae yang sangat mempercepat proses calsifikasi, dengan demikian memungkinkan karang inangnya membangun koloni massif. Hexacoral dari ordo-ordo lain dari subklas Hexaco rallia: Corallimorpharia, Anthipatharia, dan Ceriantharia, termasuk beberapa spesies dari ordo zoanthidea seperti sebagian besar octocoral dari subklas octocorallia, menjadi hewan-hewan yang berkoloni, juga memproduksi skeleton keras atau ellemen keras dari skeleton yang lembutnya dari materi cacareus dan dengan demikian berperan dalam memproduksi materi kapur remah. Menurut Anonimus (2003a) ada 12 family dan 47 genera karang.



Menurut Ongkosongo (1988) terdapat enam bentuk pertumbuhan karang batu yaitu (1) Tipe bercabang (branching), (2) tipe padat (massive), (3)tipe kerak (encrusting), tipe meja (tabulate), (5) tipe daun (foliose), dan (6) tipe jamur (mushroom).
Sesuai dengan fungsinya dalam bangunan karang (hermatypikahermatypik) dan, kepemilikannya atas alga simbion (symbiotic-asymbiotic), kerang dapat dibagi lagi dalam kelompok berikut: (Sorokin, 1993)





1. Hermatype-symbiont. Kelompok ini meliputi sebagian besar karang scleractinia pembangun terumbu.
2. Hermatype-asymbiont. Karang-karang yang tumbuh lambat ini dapat membangun skeleton kapur massif tanpa pertolongan zooxanthellae, dimana mereka dapat hidup pada lingkungan gelap, dalam gua, terowongan, dan bagian yang dalam dari kontinental solpe. Diantara mereka adalah csleractinia asymbiotic Tubastrea dan Dendrophyllia, dan hydrocoral Stylaster rosacea.
3. Ahermatype-symbionts. Diantara Scleractinian ada yang termasuk dalam kelompok fungiid kecil ini, seperti Heteropsammia dan Diaseris, dan juga karang Leptoseris (family Agaricidae), yang ada sebagai polyp tunggal atau sebagai koloni kecil, dan karenanya tidak dapat dimasukkan dalam pembangun terumbu. Kelompok ini juga hampir seluruhnya merupakan octocoral-alcyonaceans dangorgonacean yang memiliki alga simbion tetapi tidak membangun koloni kapur massif.
4. Ahermatypes-asymbionts. Untuk kelompok ini ada diantara beberapa spesies scleractinia dari genera Dendrophylla dan Tubastrea yang memiliki polyp kecil. Termasuk juga hexacoral dari ordo Antipatharia dan Corallimorpharia, dan asymbiotic octocoral. Sebagian besar karang pembangun terumbu (hermatypic) adalah bersimbiosis. Oleh karena itu pada literature istilah hermatypic diterima sebagi sinonim dari symbiotic. Kadang-kadang tidak tepat benar, karena ada satu kelompok symbiotic tetapi merupakan karang ahermatypic. Akan tetapi sudah lazim menggunakan istilahistilah ini sebagai sinonimnya.
2.2.Karang Scleractinian
Polyp karang scleractinia berisi kantong tertutup yang sederhana yang dibuat dari dua lapisan sel yang terpisah oleh selembar jaringan penghubung (messoglea). Lapisan luar dari sel (epidermis/ektodermis) merupakan (1) penghubung dengan air laut sekitar (dalam hal ini disebut oral atau epidermis bebas) atau (2) terletak berseberangan dengan skeleton pembuat kapur (disebut calsicoblastic epidermis) (Anonimus, 2003 a; Anonimus 2003 b)
Kantung tertutup terlipat untuk membentuk sebuah mulut, paring dan usus sederhana (nama terakhir dari filum Cnidaria adalah Coelenterata yang berati usus yang tertutup). Usus sederhana memiliki beberapa lipatan internal yang menolong dalam pencernaan melalui penambahan luas permukaan. Permukaan ini juga merupakan tempat organ reproduksi (dalam mesenteria). Lapisan dalam dari sel (gastrodermis/endodermis) berflagel dan menghubungkan dengan system sirkulasi gastrovaskular internal dari hewan. Sirkulasi ini menghubungkan polip coral yang berdekatan dan menjadikan adanya tingkat ketergantungan antar polip dalam suatu koloni. Alga simbion Dinoflagellata (zooxanthella) ditempatkan dalam gastrodermis dan dalam vakuola sel khusus (simbiosome vacuoles). Skema bentuk karang dan letak zooxanthella dapat dilihat pada gambar 2.



2.3.Zooxanthellae
Zooxanthellae (Yunani : Alga hewan kuning cokat) adalah sebuah istilah yang merujuk pada sekelompok dinoflagellata yang berasal dari perubahan evolusi yang berbeda yang terjadi dalam simbiosis dengan invertebrata laut. Dinoflagellata adalah organisme aneh dan kelompok organisme yang menakjubkan: beberapa anggotanya
adalah autothrophik (memperoleh sumber energi dari cahaya matahari dan membentuk karbon organic melalui proses fotosintesis. Sementara yang lainnya adalah organism heterotrop yang mendapatkan sumber energi dari bahan organic melalui pemangsaan terhadap organisme lain (Anonimus, 2003 a; Barnes, 1987). Diyakini bahwa seluruh zooxanthella memiliki spesies yang sama, Symbiodinium microadriaticum (Rowan dan Powers, 1991). Namun akhir-akhir ini zooxanthella berbagai macam coral telah ditemukan tidak kurang dari 10 taxa alga (Anonimus, 2003 b), sedangkan menurut Anonimus (2003 a) setidaknya 17 taxa alga.
Dinoflagellata fotosintetik memiliki pigmen unik (diadinoxanthin, peridinin) dan enzim fotosintetik. Dinoflagellata yang hidup bebas dapat terjadi dalam fase Coccoid yang nonmotil dan tidak memiliki flagel atau sebagai dinomastigote yaitu fase dimana memiliki dua flagel dan memiliki sifat berenang .

2.4.Simbiosis Coral-Algae
Simbiosis mutualisme yang unik antara karang (coral) hermatipik (scleractinian) dengan zooxanthella merupakan tenaga penggerak dibelakang keberadaan, pertumbuhan dan produktivitas terumbu karang (coral reef) (Levinton, 1995). Zooxanthella memberikan makanan bagi coral yang dibentuk melalui proses fotosintesis, sebaliknya coral memberikan perlindungan dan akses terhadap cahaya kepada zooxanthella. Terumbu karang adalah simbiosis yang paling menonjol. Simbiosis ini melibatkan dua jenis organisme yang sangat berbeda yang telah terpisah selama sejarah evolusinya. Karang sebagai “inang” adalah sebuah hewan invertebrata dalam filum Cnidaria (Coelenterata). Simbion terumbu karang adalah alga fotosintetik dinoflagellata yang tinggal dalam jaringan endodermis dalam sel-sel hewan inang. Dengan demikian simbiosis berlangsung sangat erat (endosymbiosis intraseluler). Zooxanthella terkonsentrasi dalam sel gastrodermal polip dan tentakel (Levinton, 1995) Karang scleractinian (stony coral) merupakan pembangun terumbu yang dominan di laut tropis yang dangkal. Berbagai bukti (molekuler, isotop, ekologi) menunjukkan bahwa coral scleractinian telah membentuk simbiosis dengan alga sangat lama yang tampak dalam catatan fosilnya.

Selain zooxanthella yang bersimbiosis dengan karang terdapat jenis-jenis algae lain yang berasosiasi dengan ekosistem terumbu karang yang juga potensial sebagai penyerap karbon. Jenis algae yang berasosiasi dengan terumbu karang sangat banyak jumlahnya. Di Indonesia timur tercatat sebanyak 765 spesies rumput laut yang terdiri dari 179 spesies algae hijau, 134 spesies algae coklat dan 452 spesies alga merah (Nontji, 1987). Untuk jenis moluska disebutkan oleh Wells (2002) bahwa diperairan terumbu karang Raja Ampat Papua ditemukan sejumlah 699 spesies moluska. Jumlah spesies sponge yang ada di perairan Indonesia disebutkan oleh Tanaka et al (2002) dalam Dahuri (2003) sebanyak 700 spesies. Jumlah ini lebih rendah dari yang dikemukakan oleh Romimohtarto dan Juwana (2001), Van Soest (1989) dan Moosa 1(999) yang menyebutkan jumlah 850 spesies sponge. Tomascik dkk (1997) menyebutkan jumlah spesies sponge sebanyak 3000 spesies berdasarkan ekspedisi Siboga dan 1500 spesies hasil ekspedisi Snellius II.

2.5. Produktivitas Ekosistem Terumbu Karang
Simbiosis mutualisme yang unik antara karang (c oral) hermatipik (scleractinian) dengan zooxanthella merupakan tenaga penggerak dibelakang keberadaan, pertumbuhan dan produktivitas terumbu karang (coral reef) (Levinton, 1995).
Zooxanthella memberikan makanan bagi coral yang dibentuk melalui proses fotosintesis, sebaliknya coral memberikan perlindungan dan akses terhadap cahaya kepada zooxanthella.
Selama fotosisntesis berlangsung, zooxanthella memfiksasi sejumlah besar karbon yang dilewatkan pada polip inangnya. Karbon ini sebagian besar dalam bentuk gliserol termasuk didalamnya glukosa dan alanin. Produk kimia ini digunakan oleh polyp untuk menjalankan fungsi metaboliknya atau sebagai pembangun blok-blok dalam rangkaian protein, lemak dan karbohidrat. Zooxanthella juga meningkatkan kemampuan coral dalam menghasilkan kalsium karbonat (Lalli dan Parsons, 1995).
Fiksasi karbon (produktivitas Primer) pada terumbu karang menempatkan ekosistem ini sebagai ekosistem paling produktif (reef flats menghasilkan sekitar 3.5 kgC/m2/tahun, dibandingkan dengan seagrass beds dan hutan hujan tropis 2 kgC/m2/tahun dan hutan gugur di daerah temperate 1 kgC/m2/tahun)(Anonimus, 2003 a)
Menurut Dahuri (2003) produktivitas primer bersih terumbu karang berkisar antara 300 – 5000 g C/cm2/tahun. Menurut Gordon dan Kelly (1962) dalam Supriharyono (2000) di perairan tepi Hawaii pernah diketemukan produktivitas ekosistem terumbu karang mencapai 11. 680 g C/cm2/tahun.

lapisan tubuh polip


Gambar 1. Anatomi polip karang
Karang atau disebut polip memiliki bagian-bagian tubuh terdiri dari
1. Mulut dikelilingi oleh tentakel yang berfungsi untuk menangkap mangsa dari perairan serta sebagai alat pertahanan diri.
2. Rongga tubuh (coelenteron) yang juga merupakan saluran pencernaan (gastrovascular)
3. Dua lapisan tubuh yaitu ektodermis dan endodermis yang lebih umum disebut gastrodermis karena berbatasan dengan saluran pencernaan. Di antara kedua lapisan terdapat jaringan pengikat tipis yang disebut mesoglea. Jaringan ini terdiri dari sel-sel, serta kolagen, dan mukopolisakarida. Pada sebagian besar karang, epidermis akan menghasilkan material guna membentuk rangka luar karang. Material tersebut berupa kalsium karbonat (kapur).

Gambar 2. Lapisan tubuh karang dengan sel penyengat dan zooxanthellae di dalamnya. Tampak sel penyengat dalam kondisi tidak aktif dengan yang sedang aktif

b. Nematocyst
Sel Sengat (Nematosit)
Hewan tak bertulang belakang (invertebrata) laut terdiri dari beberapa Phylum. Salah satunya adalah phylum Cnidaria yang terdiri dari beberapa Class di antaranya adalah: anemone, ubur-ubur, koral, dan karang api (Millepora). Semua hewan dari phylum ini mempunyai alat untuk mempertahankan diri sekaligus untuk mencari mangsa yang berbentuk semacam sel di mana di dalam sel ini terdapat semacam harpun lengkap dengan tali untuk menarik mangsa agar tidak lepas dari cengkeraman mereka. Pada hewan-hewan ini nematocyst berjumlah sangat banyak dan terdapat pada tentakel-tentakelnya.
Cara kerja sel-sel ini adalah jika mereka bersentuhan langsung dengan semua materi yang mengandung protein (materi pada mangsa mereka, juga sekaligus adalah materi pada daging dan kulit manusia), maka secara otomatis harpun akan terpicu lepas dan menancap pada mangsa. Kekuatan penetrasi dan racun nematocyst beragam pada masing-masing spesies. Pada Anemone Jagung (Entacmea quadricolor) misalnya hanya akan terasa seperti lengket-lengket saja pada kulit dan tidak akan melukai manusia. Pada Anemone Karpet nematocyst ini cukup kuat menancap hingga jika dipaksakan untuk diangkat maka tentakel-tentakel kecil yang menempel akan putus dan tetap melekat pada kulit. Beberapa ubur-ubur lain akan cukup membuat kulit terasa gatal sepanjang hari.
Tapi pada beberapa hewan lain seperti Millepora (Karang Api) dan Ubur-ubur Portuguese Man O’ War, efek yang dirasakan sudah berupa rasa terbakar yang luar biasa dan bisa berakibat hilangnya kesadaran. Penetrasi nematocyst juga dipengaruhi oleh ketebalan kulit manusia. Misalnya, nematocyst anemone Clown (Heteractis magnifica) tidak akan mampu menembus jaringan kulit di sekitar ujung jari yang relatif tebal, tapi dengan mudal sel-sel penyengat ini dapat menembus kulit di sekitar lengan dan daerah kulit lain. Efek dari bisa Heteractis magnifica ‘hanya’ membuat lengan menjadi kejang ringan (kram) selama beberapa jam saja. Nematocyst tidak dimiliki oleh hewan-hewan laut selain dari phylum Cnidaria, seperti ikan, Bulu Babi, gurita, ular laut, dan lain-lain
Bentuk nematosit yang dapat dijumpai di beberapa jenis pada klas Anthozoa Ada 4 jenis nematosit yang ditemukan yaitu:
• Penetrant tipe nematosit yang menusuk
• Glutinant tipe nematosit yang menempel
• Volvent tipe nematosit yang menjerat
• Ptychocyst tipe nematosit yang unik dan ditemukan pada anemon




Sistem kerja nematosit dibawah pada bagian paling kiri nematosit berada pada kapsul seluler. Dalam sel tersebut terdapat benang yang berpilin yang terbungkus dan memiliki tekanan (Seperti per). Saat mangsa menyentuh tentakel polip, nematosit terpicu. Penutup pada jaringan sel pada operculum tersebut langsung terbuka. Saat operculum terbuka benang-benang yang ada didalamnya langsung keluar. Pada bagian paling kanan benang tersebut kemudian menyebar. Benang tersebut bentuknya seperti jarum yang langsung menyuntikkan racun pada mangsanya. Saat mangsa telah lumpuh polip mengerakkan mangsa kemulutnya kemudian nematosit tersebut kembali kedalam kapsul (http://www.solcomhouse.com).

kalsifikasi karang

1 Kalsifikasi dan Produksi Kapur Terumbu Karang
Proses kalsifikasi sebenarnya adalah proses mineralisasi yang terjadi diluar kalikoblas epidermis. Bahan utama yang digunakan untuk proses kalsifikasi sebenarnya merupakan suatu hasil metabolisme yang disekresikan, dan terdiri dari beberapa substansi muchopolysacarida, yang memungkinkan karang mengikat kalsium (Ca2+) dari air laut (Suharsono dan Kiswara, 1984). Di laut kalsium tersedia dalam jumlah yang tak terbatas sehingga tidak menjadi faktor pembatas untuk pembentukan CaCO3. Kecepatan pembentukan CaCO3, yang merupakan komponen utama dari kerangka karang, tergantung pada kecepatan pemindahan asam karbonat pada tempat kalsifikasi. Pemindahan asam karbonat dapat dilakukan oleh enzim “carbonic anhydrase”. Adanya penghambat “carbonic anhydrase” dapat menyebabkan berkurangnya kecepatan kalsifikasi, karena terganggunya efisiensi pemindahan asam karbonat. Disamping itu pemindahan asam karbonat juga dilakukan melalui proses fiksasi CO2 oleh zooxanthellae pada waktu berfotosintesis (Bohm, 2005).
Proses kalsifikasi karang sangat kompleks. Semua bahan yang didepositkan bergerak dibawah kontrol metabolik yang sangat berkaitan, sehingga terjadi kesesuaian antar pengambilan dan pengendapan (Garison dan Ward, 2008). Adanya kontrol metabolik ini menyebabkan proses kalsifikasi ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti cahaya dan suhu. Akibatnya kecepatan kalsifikasi sangat bervariasi dari tahun ketahun, serta terjadi perbedaan densitas pengendapan dengan kondisi lingkungan yang berpengaruh selama tahun itu. Smith (2004) menyatakan peranan zooxanthellae dalam kalsifikasi sangat penting. Jika zooxanthellae dicegah untuk tidak melakukan fotosintesis atau dipindahkan dari jaringan karang maka reaksi pembentukan CaCO3 menjadi sangat lambat.
Koloni karang dengan zooxanthellae masih dapat mengadakan kalsifikasi yang lebih cepat dalam keadaan gelap dari pada koloni tanpa zooxanthellae dalam keadaan ada cahaya. Peranan zooxanthellae dalam mekanisme kalsifikasi adalah dalam memindahkan hasil buangan yang dihasilkan oleh karang seperti CO2, nitrogen, fosfor, dan sulfur. Dengan adanya pemindahan zat-zat ini kecepatan metabolisme karang meningkat (Bohm et al., 2005).
Dalam ekosistem terumbu karang tidak hanya karang sendiri yang memproduksi CaCO3. Berbagai jenis hewan dan tumbuhan seperti Coralline algae, Moluska, Echinodermata, dan hewan lainnya membentuk cangkang dari CaCO3. Scoffin et al. (1980) dalam Nontji (1984) menyatakan produksi CaCO3 di terumbu karang diperkirakan (206 x 106 g/th)±10 dan bersamaan dengan diproduksinya CaCO3 ini terjadi juga pemindahan CaCO3 dari terumbu karang sebesar (123 x 106 )±7 g/th. Pemindahan ini terjadi karena adanya hewan-hewan yang hidup bersama dengan karang dan membuat rumah didalam kerangka karang. Hewan dan tumbuhan ini termasuk gastropod, cacing, bulu babi, ikan kakaktua, keong, sponge, kerang, crustacea, dan lain-lainnya.
Persentase dari kerangka kapur berkisar antara 7-38% dari total CaCO3. Disamping kalsium, unsur-unsur Sr, U, Ba, Cu, B, Li, dan Zn secara umum selalu ada dalam kerangka karang. Zat-zat ini didepositkan bersama-sama dengan Ca selama proses kalsifikasi. Unsur pada berbagai jenis karang jumlahnya bervariasi. Hal ini berkaitan dengan perubahan lingkungan seperti suhu, salinitas, dan komposisi air (Odum, 1955 dalam Nontji, 1984).
2.3.2 Mekanisme Kalsifikasi
Peran alga dalam proses kalsifikasi sampai saat ini masih belum teridentifikasi dengan jelas. Menurut Johnston (1980) mengasumsikan bahwa mekanisme kalsifikasi alga melalui peningkatan cahaya mengikuti mekanisme kalsifikasi dasar seperti yang terjadi pada karang hermatipik dan ahermatipik. Ada dua dasar mekanisme kalsifikasi yaitu :
(1) kalsifikasi sebagai proses fisika-kimia biasa, dimana pengendapan anorganik matriks terjadi karena kondisi media yang supersaturasi;
(2) kalsifikasi didasarkan pada pengompleksan ion Ca2+ atau CO32- oleh material matriks yang bermuatan.
Material pengompleksan ini kemungkinan adalah kelompok amida, seperti kitin dan ikatan peptida protein. Senyawa lainnya adalah residu protein matriks asam asaparatik dan asam glutamat.
Johnston (1980) juga memberikan 3 hipotesis lain yang menggambarkan peran alga dalam proses kalsifikasi karang yaitu : (1) sebagai pengambil senyawa yang mungkin penghambat; (2) sebagai pengatur stimulasi metabolisme; (3) sebagai penyumbang matriks organik.
(1) Sebagai pengambil senyawa yang mungkin yang mungkin penghambat.
Pengambilan senyawa penghambat dapat meningkatkan kalsifikasi telah didiskripsikan oleh beberapa peneliti seperti Goreau (1961). Pengambilan ini biasanya terjadi pada waktu proses fotosintesis, dimana alga akan mengabsorbsi CO2 dan Posfat dalam perairan. Secara spesifik Chapman (1974) dalam Johnston (1980) menyimpulkan bahwa pengikatan CO2 oleh alga melalui proses fotosintesis hanya dapat meningkatkan CaCO3, jika konsentrasi ion bikarbonat (HCO3-) dan kondisi pH air yang tinggi. Borowitzka dan Larkum (1974) dalam Johnston (1980) menunjukkan bahwa jika CO2 diambil pada waktu proses foto sintesis, maka pH akan meningkat dan menggeser kesetimbangan HCO3-, seperti pada persamaan reaksi di bawah ini :
HCO3- H+ + CO32-..................................................................................................(1)
yang berarti akan meningkatkan konsentrasi ion CO32-, dengan meningkatnya ion CO32- maka akan meningkatkan kalsifikasi, namun hal ini masih belum ada bukti.
(2) Sebagai pengatur stimulator metabolisme
Hal ini didasarkan pada peran penting alga dalam membantu menyerap sisa–sisa metabolisme hewan karang seperti Posfat (PO43-), Sulfur (SO42-) dan Nitrat (NO32-).
(3) Sebagai penyumbang matriks organik
Hal ini didasarkan pada pendapat Wainwright (1963) dalam Johnston (1980) yang mengusulkan bahwa alga mampu menghasilkan komponen penghambat kalsifikasi (rate-limiting compound) yang terlibat dalam pembentukan matriks organik. Komponen tersebut adalah kitin pada jenis Pocilopora damicornis. Namun demikian peran ini juga belum jelas mengingat matriks ini bukan merupakan faktor pembatas dalam proses kalsifikasi atau bukan berasal dari alga (Goreau dan Goreau, 1961).
Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sebenarnya peran dari proses fotosintesis alga pada proses kalsifikasi masih belum jelas dan masih dalam suatu perdebatan (Adey,2000). Namun demikian karang batu pembentuk terumbu tidak mengkalsifikasi sangat nyata pada kondisi gelap dan bahwa peran kedua organisme yang ada yaitu : alga simbion dan alga yang hidup bebas sangat menentukan dalam proses kalsifikasi (Adey, 2000) . Selanjutnya dikatakan pula bahwa pertumbuhan alga yang berlebihan karena peningkatan nutrien (eutropkasi) atau pemangsaan yang turun (karena perikanan) yang kurang melihat atau memperhatikan pertumbuhan alga yang hidup bebas sangat merusak kehidupan atau pertumbuhan karang (Adey, 2000).

2.4 Radioisotop 45CaCl2
Bohm et al. (2005) menyatakan unsur-unsur yang memiliki neutron yang berbeda pada intinya, sehingga akan memiliki nomor massa, inti, dan nomor atom berbeda, sehingga sifat kimianya tidak berubah. Unsur-unsur seperti ini memiliki elemen yang sama, tetapi berat atom atau nomor massanya yang berbeda disebut isotop. Penambahan awalan Radio- di gunakan untuk menandakan sifat radioaktif, dengan kata lain radioisotop berbeda dengan isotop-isotop stabil. Bahwa proton dan netron pada inti membentuk susunan tidak stabil dan karena itulah pemecahan terjadi secara spontan. Sifat penanda digunakan untuk menggambarkan sebuah elemen, senyawa, atau organisme mengandung bahan pengganti isotop. Tanda bintang juga digunakan sebagai penanda untuk radioisotop.
Radioisotop alami ditandai dengan adanya nomor atom yang lebih besar dari 81. Radioisotop 45Ca ini berbentuk cairan dalam bentuk 45CaCl2 dan memiliki waktu paruh 162,23 hari atau ± sekitar 5 bulan. Radiasi yang dipancarkan adalah sinar Beta dengan intensitas yang rendah, sehingga dibutuhkan penguat radiasi untuk memperkuat radiasi yang dipancarkan, agar bisa terbaca pada alat ( Bohm et al., 2005).