Powered By Blogger

Kamis, 14 Oktober 2010

Masalah wilayah pesisr dan nilai suatu lahan dalam penataan ruang

Sebagai negara kepulauan, laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. Agar pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir dapat terselenggara secara optimal, diperlukan upaya penataan ruang sebagai salah satu bentuk intervensi kebijakan dan penanganan khusus dari pemerintah dengan memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya. Selain itu, implementasi penataan ruang perlu didukung oleh program-program sektoral baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, termasuk dunia usaha. Dalam lingkup masyarakat, ada banyak hal yang harus diketahui sebelum melakukan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir ini. Banyak hal-hal yang mempengaruhi penataan ruang di sekitar wilayah pesisir sperti halnya ekosistem plantai dan laut.
Dengan karakteristik wilayah laut dan pesisir sebagaimana disampaikan di atas, wilayah laut dan pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan penataan ruang sebagai berikut:
a. Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang “open acces” sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan beberapa sektor pembangunan (multi-use). Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga antar penggunaan antara lain (i) perikanan budidaya maupun tangkapan (ii) pariwisata bahari dan pantai (iii) industri maritime seperti perkapalan (iv), pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian lainnya; (v) perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama adalah (vi) kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang dan biota laut lainnya.
b. Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi menurut administrasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom. Dalam Pasal 3 Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa kewenangan Daerah Propinsi terdiri atas darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sementara menurut pasal 10 UU 22/1999, kewenangan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi atau sejauh 4 (empat) mil laut. Di satu sisi, kejelasan pembagian kewenangan ini diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya pesisir, seiring dengan semakin pendeknya ”span control” dan semakin jelasnya akuntabilitasdalam pengelolaanya. Di sisi lain, justru hal ini berpotensi menimbulkan persoalan konflik antar wilayah dan potensi disintegrasi ketika kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan pantai di daerah otonom tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang berada di 9 wilayah Kabupaten/Kota lainnya yang berada pada bagian atas daratan, hulu atau yang bersebelahan.
c. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang bermatapencaharian di sektor-sektor non-perkotaan. Sebagian besar dari 126 kawasan tertinggal yang diidentifikasi dalam kajian Penyempurnaan RTRWN merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
d. Timbul berbagai dampak pembangunan yang tidak hanya bersumber dari dalam wilayah pesisir, tetapi juga dari wilayah laut dan pedalaman. Hal ini merupakan konsekuensi dari fungsi wilayah pesisir sebagai “interface” antara ekosistem darat dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki keterkaitan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua wilayah tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada wilayah pesisir merupakan akibat dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di wilayah daratan beserta perubahan rona lingkungan yang diakibatkannya. Pembangunan wilayah daratan telah mengakibatkan 59 (lima puluh sembilan) SWS berada dalam kondisi kritis. Hal ini berdampak pada tingginya tingkat sedimentasi yang mengancam keberadaan padang lamun (sea grass) dan terumbu karang (coral), selain bencana banjir yang menimpa kawasan pesisir. Demikian pula dengan berbagai kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut, juga menimbulkan polusi yang mengancam ekosistem pesisir. Penanggulangan permasalahan yang muncul di wilayah laut dan pesisir ini tidak dapat dilakukan hanya di wilayah pesisir saja, tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Sebagai contoh, penanganan pendangkalan laut di kawasan pesisir tidak dapat diatasi dengan melakukan pengerukan, tetapi harus terintegrasi dengan pengelolaan kawasan lindung dan pembangunan waduk di bagian hulu. Dengan kata lain, pengelolaan di wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta daerah aliran sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dalam keterpaduan pengelolaan, dimana keterkaitan antar ekosistem menjadi aspek yang haru diperhatikan.
e. Pemanfaatan potensi sumber daya kemaritiman yang tidak optimal, terutama di wilayah KTI dan perbatasan di mana sektor kelautan dan perikanan merupakan prime mover pengembangan wilayah. Hal ini diindikasikan antara lain oleh (i) kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing di perairan Indonesia; (ii) tingkat pemanfaatan potensi perikanan tangkap yang melebihi potensi lestari3 sebagaimana terjadi di Selat Malaka yang mencapai 108,8% dari potensi yang ada atau mengalami overfishing sebesar 18,8% dan Laut Jawa (88,98%); (iii) pemanfaatan potensi perikanan tangkap yang belum optimal sebagaimana di Laut Cina Selatan (42,5%), Selat Makassar dan Laut Flores (66,7%), Laut Maluku (43,1%), Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (63,5%), dan Laut Arafura (53,8%); (iv) pemanfaatan potensi budidaya perikanan juga masih rendah, yakni baru mencapai 330 ribu hektar dari potensi sebesar 830 ribu hektar dan hanya 80% yang berupa tambak intensif; dan (v) nilai investasi baik PMA dan PMDN yang masuk, pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia.
f. Lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih banyaknya pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali. Juga tidak adanya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap system-sistem tradisional serta wilayah laut dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Dalam konteks ini, RTRW dalam berbagai tingkatan yang telah memiliki aspek legal berikut aturan-aturan pelaksanaanya seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai “guidance” dalam pengelolaan wilayah pesisir.
g. Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena pemanasan global memberikan dampak yang serius terhadap wilayah pesisir yang perlu diantisipasi penanganannya. Diperkirakan akan ada 30 kota pantai di Indonesia yang potensial terkena dampak pemanasan global (20 kota di KBI dan 10 kota di KTI) sebagaimana disajikan dalam. Secara umum kenaikan muka air laut akan mengakibatkan dampak sebagai berikut: (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

DAFTAR PUSTAKA
Sjarifuddi,A.,2002, Kebijakan Kimpraswil dalam rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Makalah pada Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Hotel Indonesia – Jakarta.
BKTRN, 2003., Dokumen Kesepakatan Gubernur Seluruh Indonesia pada Rakernas BKTRN, Surabaya.

SISTEMATIKA DAN TEKHNIK IDENTIFIKASI KARANG

Terumbu karang atau coral reefs adalah ekosistem di dasar laut tropis yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur (CaCO ) yang dihasilkan oleh organisme karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) khususnya jenis-jenis karang batu dan alga berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya dari filum Cnidaria, ordo Scleractinia yang hidup bersimbiosis dengan zooxantellae, dan sedikit tambahan dari algae berkapur serta organisme lain yang menyekresi kalsium karbonat Terumbu karang bisa dikatakan sebagai hutan tropis ekosistem laut.
Ekosistem ini terdapat di laut dangkal yang hangat dan bersih dan merupakan ekosistem yang sangat penting dan memiliki keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Salah satu komponen utama sumber daya pesisir dan laut utama, disamping hutan mangrove dan padang lamun. Karang pembentuk terumbu (karang hermatipik) hidup berkoloni, dan tiap individu karang yang disebut polip menempati mangkuk kecil yang dinamakan koralit.Tiap mangkuk koralit mempunyai beberapa septa yang tajam dan berbentuk daun yang tumbuh keluar dari dasar koralit, dimana septa ini merupakan dasar penentuan spesies karang. Tiap polip adalah hewan berkulit ganda, dimana kulit luar yang dinamakan epidermis dipisahkan oleh lapisan jaringan mati (mesoglea) dari kulit dalamnya yang disebut gastrodermis. Dalam gastrodermis terdapat tumbuhan renik bersel tunggal yang dinamakan zooxantellae yang hidup bersimbiosis dengan polip. Zooxantellae dapat menghasilkan bahan organik melalui proses fotosintesis, yang kemudian disekresikan sebagian ke dalam usus polip sebagai pangan.
Pada terumbu karang karibia dearah karang dibagi menjadi bebeapa jenis berdasarkan atas kedalamannya, yaitu:
a. Karang dangkal (reef flat)
Pada daerah ini banyak terjadi aktifitas fisik seperti gelombang, sedimentasi. Karang pada daerah ini dapat meredam energi gelombang sampai 97%. Zonasi pada daerah ini mengalami transisi dimana karang bercabang dan karang api cenderung lebih kearah darat.
Karang ini beradaptasi terhadap tingkat sedimentasi yang tinggi. Jenis yang mendominasi pada daerah ini yakni jenis massiv seperti Porites.
b. Karang depan (reef crest)
Zonasi pada daerah ini sangat kompleks. Daerah ini berada dibawah zona ombak pecah dan gelombang. Pada daerah ini banyak ditemukan jenis brancing seperti Acropora.
c. Slope karang (reef slope)
Daerah ini terdapat pada pertemuan teluk. Kedalamannya antara 30-35 m. Pada tempat ini tingkat kecuramannya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah sebelumnya. Daerah ini bentuk topografinya brbukui-bukit dengan zonasi karang yang tidak jauh berbeda dengan daerah sebelumnya. Dinding karang Daerah ini memiliki kedalaman antara 50-85 m. Tingkat kecuraman daerah ini yang paling tinggi dibandingkan daerah sebelumnya. Karang pada daerah ini kebanyakan bentuknya melebar untuk menangkap sinar matahari yang kurang
Selain zonasi pada daerah yang dangkal terdapat juga zonasi karang pada daerah yang agak dalam, dengan kedalaman antara 60 m sampai 150 m. Zonasi tersebut disebut Twilight Zone. Pada zonasi ini sangat tergantung pada cahaya matahari. Zonasi ini ditemukan pada samudera terbuka yang jernih dimana cahaya matahari dapat tembus sampai kedalaman maksimum. Pada batas atas yakni 60 m mewakili pertumbuhan optimal karang, sedangkan batas bawah mewakili batas intensitas cahaya matahari. Zonasi karang pada daerah ini masih sangat sedikit yang diselidiki sehingga data yang diperoleh masih sangat sedikit.
Daftar istilah anatomi penyusun rangka karang
a. Koralit, merupakan keseluruhan rangka kapur yang terbentuk dari satu polip.
b. Septa, lempeng vertikel yang tersusun secara radial dari tengah tabung, seri
septa berbentuk daun dan tajam yang keluar dari dasar dengan pola berbeda
pada tiap spesies sehingga menjadi dasar pembagian (klasifikasi) spesies karang. Dalam satu koralit terdapat beberapa lempeng vertikel septa.
c. Konesteum, suatu lempeng horisontal yang menghubungkan antar koralit.
d. Kosta, bagian septa yang tumbuh hingga mencapai dinding luar dari koralit
e. Kalik, bagian diameter koralit yang diukur dari bagian atas septa yang berbentuk lekukan mengikuti bentuk bibir koralit
f. Kolumela, struktur yang berada di tengah koralit. Terdapat empat bentuk kolumela yang sering dijumpai yaitu padat, berpori, memanjang dan tanpa kolumela.
g. Pali, bagian dalam sebelah bawah dari septa yang melebar membentuk tonjolan sekitar kolumela. Membentuk struktur yang disebut paliform.
h. Koralum, merupakan keseluruhan rangka kapur yang dibentuk oleh keseluruhan polip dalam satu individu atau satu koloni.
i. Lempeng dasar, merupakan bagian dasar atau fondasi dari septa yang muncul membentuk struktur yang tegak dan melekat pada dinding.
Dari hasil praktik lapang coralogy, kelompok saya mendapat tugas untukmencari karang yang mempunyai bentuk pertumbuhan bercabang (branching).
Bentuk Bercabang (branching), memiliki cabang lebih panjang daripada diameter yang dimiliki, banyak terdapat di sepanjang tepi terumbu dan bagian atas lereng,terutama yang terlindungi atau setengah terbuka. Bersifat banyak memberikan tempat perlindungan bagiikan dan invertebrata tertentu.

Reproduksi Seksual
Karang memiliki mekanisme reproduksi seksual yang beragam yang didasari oleh penghasil gamet dan fertilisasi. Keragaman itu meliputi:
A. Berdasar individu penghasil gamet, karang dapat dikategorikan bersifat:
1. Gonokoris
Dalam satu jenis (spesies), telur dan sperma dihasilkan oleh individu yang berbeda. Jadi ada karang jantan dan karang betina
Contoh: dijumpai pada genus Porites dan Galaxea
2. Hermafrodit
bila telur dan sperma dihasilkan dalam satu polip. Karang yang hermafrodit juga kerap kali memiliki w aktu kematangan seksual yang berbeda, yaitu
• Hermafrodit yang simultan 􀃆 menghasilkan telur dan sperma pada w aktu
bersamaan dalam kesatuan sperma dan telur (egg-sperm packets). Meski dalam satu paket, telur baru akan dibuahi 10-40 menit kemudian yaitu setelah telur dan sperma berpisah.
Contoh: jenis dari kelompok Acroporidae, favidae
• Hermafrodit yang berurutan, ada dua kemungkinan yaitu
individu karang tersebut berfungsi sebagai jantan baru, menghasilkan sperma untuk kemudian menjadi betina (protandri), atau adi betina dulu, menghasilkan telur setelah itu menjadi jantan (protogini)
Contoh: Stylophora pistillata dan Goniastrea favulus
Meski dijumpai kedua tipe di atas, sebagian besar karang bersifat gonokoris
B. Berdasar mekanisme pertemuan telur dan sperma
1. Brooding/planulator
Telur dan sperma yang dihasilkan, tidak dilepaskan ke kolom air sehingga fertilisasi secara internal. Zigot berkembang menjadi larva planula di dalam polip, untuk kemudian planula dilepaskan ke air. Planula ini langsung memiliki kemampun untuk melekat di dasar perairan untuk melanjutkan proses pertumbuhan.
Contoh: Pocillopora damicornis dan Stylophora
2. Spawning
Melepas telur dan sperma ke air sehingga fertilisasi secara eksternal. Pada tipe ini pembuahan telur terjadi setelah beberapa jam berada di air.
Contoh: pada genus Favia
Dari sebagian besar jenis karang yang telah dipelajari proses reproduksinya, 85% di antaranya menunjukkan mekanisme spawning. Waktu pelepasan telur (Richmond 1991)

Siklus reproduksi karang secara umum adalah sebagai berikut: Telur & spema dilepaskan ke kolom air (a) 􀃆 fertilisasi menjadi zigot terjadi di permukaan air (b) 􀃆 zygot berkembang menjadi larva planula yang kemudian mengikuti pergerakan air . Bila menemukan dasaran yang sesuai, maka planula akan menempel di dasar (c) 􀃆 planula akan tumbuh menjadi polip (d) 􀃆 terjadi kalsifikasi (e) 􀃆 membentuk koloni karang (f) namun karang soliter tidak akan membentuk koloni
Baik reproduksi secara seksual maupun secara aseksual dijalankan oleh karang tentunya untuk tujuan mempertahankan keberadaan spesiesnya di alam. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga kedua metode tersebut saling melengkapi. Berikut adalah perbandingan reproduksi aseksual dan seksual dipandang dari sisi ketahanan dan adaptasi terhadap lingkungan.
Acropora florida
Acropora florida adalah jenis karang yang memiliki pertumbuhan bercabang (branching). Acropora florida banyak ditemukan di perairan spermonde khususnya di pulau barrang lompo. Habitat dari acropora florida, banyak ditemukan diperairan yang dangkal (reef crest) daerah ini berada dibawah zona ombak pecah dan gelombang. Cara identifikasi yang kami lakukan adalah cara visual yaitu pengamatan pada sampel secara langsung.
Bentuk morfologi dari acropora ini adalah, percabangan yang tebal, terlihat sangat kuat, axial dan radialnya sangat kelihatan dan warnahnya hijau tua.
Genus Acropora memiliki jumlah jenis (spesies) terbanyak dibandingkan genus lainnya pada karang. Karang jenis ini biasanya tumbuh pada perairan jernih dan lokasi dimana terjadi pecahan ombak. Bentuk koloni umumnya bercabang dan tergolong jenis karang yang cepat tumbuh, namun sangat rentan terhadap sedimentasi dan aktivitas penangkapan ikan (Johan, 2003).
Teknik kedua yang dipakai dalah teknik kedua yaitu Teknik menelaah rangka kapur karang. Teknik ini memperhatikan bentuk rangka kapur karang, pada karang yang telah mati. Untuk dapat menerapkan teknik ini, kita terlebih dahulu harus memahami bagian-bagian dari rangka kapur karang. Bagian-bagian dari rangka kapur karang yang perlu diperhatikan antara lain ialah bentuk koloni (apakah tergolong masif, bercabang, lembaran, dll.), bentuk koralit (ceroid, plocoid, meandroid, dll.) dan bagian-bagian koralit lainnya seperti septa, pali, columella dan coenostium. Alat bantu yang diperlukan antara lain ialah kaca pembesar (Johan, 2003). Dan struktur koralit yang terdapat pada acropora florida adalah phaceloid.
Teknik ketiga yaitu pengamatan pada bentuk pertumbuhan karang. Cara ini sangat mudah dan cepat dipelajari yaitu dengan melihat bentuk pertumbuhan koloni karang. Bagi peneliti muda dan penelitian kondisi terumbu karang, metode ini sudah sering digunakan. Kemudian kemampuan identifikasi karang akan terus meningkat sesuai dengan pengalaman seiring dengan berjalannya waktu dan seringnya melakukan survei karang (Johan, 2003).
Koloni sangat umum dijumpai dalam bentuk bercabang, meja dan semak-semak. Bentuk mengerak (encrusting) dan submasif jarang ditemukan. Memiliki dua tipe koralit yaitu axial koralit dan radial koralit. Tidak memiliki kolumella. Dinding koralit terpisah dengan konesteum (koralit memiliki dinding masing-masing). Polip hanya muncul dimalam hari. ( Johan, 2003 ).
Reproduksi
Reproduksi dari acropora ada aseksual dan seksual, acropora kadang terjadi aseksual seperti fragmentasi. Terkadang karang khususnya yang betuyk pertumbuhannya branching gampang patah dan pada saat itulah sewaktu patahannya jatuh dan menyentuh substrat yang cocok.
Asosiasi
Pada waktu sampel ini diambil, acropora banyak ditemukan di daerah reef crest dan reef slope karena acropora tidak dapat hidup di daerah yang ekstrim akibat hempasan ombak, acropora hanya hidup pada daerah perairan yang tidak terlalu ekstrim. Acropora berasosiasi dengan karang massive, ikan karang anemone dan bintang laut.
Cara makan
1. Menangkap makanan dengan menggunakan trentakelnya.
2. Menerima hasil fotosintesis dari zooxanthellae.


DAFTAR PUSTAKA

Johan, 2003 . Sistematika dan teknik identifikasi karang, jurnal.IPB. Bogor.
Timotius, 2002. Biologi karang1. Jurnal. IPB. Bogor.
http://www.ubb.ac.id/indexkarang.php?judul_karang=Laboratorium%20Perikanan%20UBB%20Berhasil%20Transplantasi%20Karang&&nomorurut_karang=26
http://www.docstoc.com/docs/DownloadDoc.aspx?doc_id=10627387&ref_url
http://www.bishopmuseum.org).
(http://geology.uprm.edu).

PANTAI BERPASIR

Pantai berpasir adalah bentuk pantai yang landai atau datar dengan dominasi pasirnya yang sangat banyak. Pada pantai berpasir memiliki gerakan ombak pengaruh yang menyertai: Ukuran Partikel, Pergerakan Substrat, & Kandungan Oksigen


gambar Pantai berpasir Bangka-belinyu

Pada umumnya pantai berpasir lebih banyak dikenal oleh manusia dibanding dengan jenis pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir memiliki manfaat yang sangat banyak dibanding dengan pantai jenis yang lainnya. Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai berbatu, pada pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi, yaitu:
1. Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama.
Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering terekspose
2. Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut.
Zona ini merupakan daerah yang paling banyak mengalami fluktusi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang lamun.
3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang surut purnama.
Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fliktuasi pasang surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bias ditemukan ekosistem terumbu karang.
Menurut Nybakken (1992) zonasi yang terbentuk pada pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh faktor fisik perairan. Hal ini nampak dari hempasan gelombang dimana jika kecil maka ukuran partikelnya juga kecil, tetapi sebaliknya jika hempasan gelombang besar maka partikelnya juga akan besar. Pada pantai berpasir hempasan gelombangnya kecil menyebabkan butiran partikelnya kecil.

Secara umum kita dapat membagi kawasan pantai berpasir sebagai kawasan pasang surut karena sangat dipengaruhi oleh pola naik dan surutnya air laut kedalam tiga zona yang merupakan pemilahan dari pola pergerakan pasang surut dan hempasan riak gelombang yang dinamis tersebut. Zona pertama merupakan daerah diatas pasang tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan siraman air laut dari hempasan riak gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut (supratidal), Zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal) dan zona ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut (subtidal).
Jika anda berjalan pada kawasan pantai yang sesekali dibasahi oleh hempasan riak kecil gelombang, dan pada batas tumbuhnya beberapa tanaman khas pantai seperti pohon kelapa, dan pohon lainnya, kawasan inilah yang di kenal dengan zona supratidal. Kawasan ini hanya sesekali mendapat percikan air pada pasang-pasang tertinggi dan sering terjadi proses pengeringan dengan kontak langsung oleh sinar matahari serta udara pantai, termasuk pengaruh daratan yang lebih dominan terutama oleh aktifitas manusia. Pada kawasan yang lebih rendah yang terus dibasahi oleh air laut saat pasang adalah zona intertidal yang lebih “nyaman” bagi beberapa hewan kecil yang bergerak lincah. Kawasan ini sesekali terendam oleh air saat pasang dan sesekali terjemur oleh teriknya matahari saat surut.
Pada kawasan supratidal dan intertidal, banyak di dominasi oleh hewan-hewan yang bergerak cepat untuk mencari makan seperti beberapa jenis kepiting dan atau mengubur diri kedalam pasir seperti beberapa jenis kerang-kerangan (bivalve) dan cacing pantai (Annelida). Khusus pada zona intertidal, hewan-hewan yang membanamkan diri pada pasir (infauna) lebih banyak di jumpai di bandingkan dengan daerah subtidal yang di dominasi oleh hewan-hewan kecil yang hidup di atas permukaan pasir (epifauna).
Dibalik keindahan kawasan pantai berpasir yang terlukis oleh kuas alam, tidak jarang dari kita menganggapnya sebagai kawasan “tandus” yang hanya berisikan pasir atau benda mati lainnya. Kita mungkin tidak pernah menyangka kalau kawasan dinamis yang terus di terjang riak gelombang laut tersebut sebenarnya merupakan “rumah” bagi berjuta hewan kecil dan alga laut yang khas. Hewan-hewan tersebut hidup dengan pola unik yang harus menyesuaikan diri dengan dinamika pantai yang terus bergolak.
Sebagian besar dari hewan-hewan ini adalah hewan yang bergerak aktif atau membenamkan diri dalam pasir (infauna) dan atau melekat pada beberapa substrat padat seperti batuan yang terdapat di sepanjang daerah tersebut.
Kita jarang melihat adanya organisma pada kawasan supratidal atau intertidal saat berjalan santai diatasnya, karena hewan-hewan kecil pada kawasan ini sangat aktif dan mempunyai semacam alat pendeteksi untuk memastikan mereka aman dari gangguan hewan lain termasuk manusia. Saat mereka merasa terganggu, dengan sangat cepat mereka bergerak membenamkan diri kedalam pasir dan atau mencari kawasan yang lebih aman dari jangkauan. Pada beberapa kawasan yang jauh dari kegiatan manusia, kita dapat menemukan begitu ramainya kehidupan pantai berpasir dari kegiatan “pencarian makanan” dan “bermain” di sela-sela hempasan riak gelombang oleh kepiting-kepiting kecil termasuk hermit crab, cacing-cacing pantai, kerang-kerangan kecil. Pada daerah yang sarat dengan kegiatan manusia (pantai wisata) kita mungkin masih dapat menyaksikan keunikan kehidupan tersebut saat malam hari.
Kita sering melihat sepintas kecerdikan kepiting kecil yang hidup di tepi pantai sambil sesekali berlari mencari makan dan bersembunyi kedalam lubang yang merupakan “rumah kecil” ketika merasa terusik, atau secara tidak sengaja, saat menyandarkan telapak tangan kita keatas pasir yang sesekali terendam, kita sering merasakan gigitan-gigitan kecil dari cacing-cacing pantai yang bersembunyi di sela-sela pasir dan bahkan kita sering memungut kerang-kerangan kecil yang masih hidup terkubur di tepi pantai berpasir.
Keseluruhan hewan-hewan tadi adalah penguhi tetap kawasan pantai berpasir yang saling terkait kedalam suatu ekosistem pesisir yang unik dan khas. Semua saling terkait walau masing-masing tinggal dan mencari makan pada zona yang berbeda. Keterkaitan yang khas ada pada pola pemanfaatan ruang dan makanan. Namun sayangnya, di beberapa kawasan pantai Indonesia, hampir kita tidak lagi dapat menemukan pola keseimbangan yang terjadi antara ketiga zona tersebut, karena umumnya seluruh daerah subtidal yang dekat dengan kegiatan manusia telah rusak dan hewan-hewan yang hidup di sana tersingkir kedaerah-daerah yang lebih jauh dan aman. Hingga sering kita menemukan banyak cangkang organisma laut di sepanjang garis pantai yang kita lalui dan itu merupakan rumah kecil dari beberapa hewan yang mendominasi kawasan subtidal.
Pada daerah interstitial pantai berpasir, kita mengenal beberapa macam hewan, salah satunya adalah meiofauna. Istilah interstisial secara umum adalah ruang di antara partikel sedimen dan juga digunakan sebagai sinonim dari organisme yang hidup di dalamnya. Meiofauna merupakan istilah yang sering dipakai sebagai padanan kata interstisial atau psammon. Meiofauna adalah organisme yang hidup secara interstisial. Sinonimnya adalah meiobentos. Meiofauna dapat pula diartikan sebagai kelompok metazoa kecil yang berada di antara mikrofauna dan makrofauna. Meiofauna adalah kelompok hewan berukuran antara 63–1000 μm atau hewan-hewan multiseluler yang lolos pada saringan 0.063–1 mm dan merupakan organisme yang melimpah pada komunitas dasar yang bersubstrat lunak atau pada sedimen laut mulai dari zona litoral atas sampai pada zona abisal. Istilah endobentik digunakan bagi meiofauna yang berpindah dalam sedimen. Meiofauna yang hidup dan berpindah dalam ruang interstisial disebut mesobentik, sedangkan meiofauna yang hidup pada batas antara sedimen dan air (sediment-water interface) disebut epibentik.
Berdasarkan pada tipe habitatnya, meiofauna dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Meiofauna yang hidup pada substrat kasar (pasir) Contoh meiofauna yang hidup di pasir adalah Copepoda, Ostracoda, Gastrotricha, Turbellaria, Oligochaeta, Tardigrada dan Archiannelida
2. Meiofauna yang hidup pada substrat lunak (lumpur) Contoh meiofauna yang hidup di lumpur adalah Nematoda, Copepoda, Foraminifera, Ostracoda dan Annelida
3. Meiofauna yang hidup di lapisan sedimen yang miskin oksigen dan/atau tanpa oksigen Cotoh meiofauna ini adalah Nematoda, Turbellaria, Ciliata, Rotifera, Gastrotricha, Gnathostomulida dan Zooflagellata
Pada organisme yang hidup di pantai berpasir daerah intertidal lebih banyak mengubur diri saat air sedang surut. Hal ini dikarenakan daerah tersebut sangat terbuka dari sinar matahari yang menyebabkan kekeringan.
Seperti hewan interstitial lainnya, meiofauna juga mengalami zonasi. Berikut zona meiofauna berdasarkan keadaan pasir
1.Zona pasir kering (dry sand zone)
Yaitu zona sampai kedalaman 15 cm, temperatur pada daerah ini selalu berubah-rubah dengan kelembaban dapat kurang dari 50%, hanya terdapat sedikit nematoda dan oligochaetes hidup di zona ini.
2.Zona pasir lembab (moist sand zone)
Yaitu zona yang terletak dibawah dry sand zone. Temperatur pada zona ini relatif konstan dengan kelembaban lebih dari 50%. Harpacticoid copepoda, mystacocarid, nematoda, oligochaetes dan turbelaria banyak terdapat di zona ini.
3.Zona air (water table stratum)
Yaitu zona dengan kelembaban 40-70%, nematoda dan crustacea mendominasi zona ini.
4.Zona oksigen rendah (low oxygen zone)
Yaitu zona dmana populasi meiofauna sangat jarang dijumpai. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya oksigen yang tersedia untuk metabolism organisme.

Kamis, 07 Oktober 2010

Ekosistem Pesisir yang Tidak Tergenangi Air

Ekosistem pesisir yang tidak tergenangi air (uninundated coast) terdiri dari dua formasi, yaitu formasi Pescaprae dan formasi Barringtonia.

1. Pescaprae

Ekosistem ini umumnya terdapat di belakang pantai berpasir. Formasi pescaprae didominasi oleh vegetasi pionir, khususnya kangkung laut (Ipomoea pescaprae)
Dinamakan demikian karena yang paling banyak tumbuh di gundukan pasir adalah tumbuhan Ipomoea pes caprae yang tahan terhadap hempasan gelombang dan angin; tumbuhan ini menjalar dan berdaun tebal. Tumbuhan lainnya adalah Spinifex littorius (rumput angin), Vigna, Euphorbia atoto, dan Canaualia martina. Lebih ke arah darat lagi ditumbuhi Crinum asiaticum (bakung), Pandanus tectorius (pandan), dan Scaeuola Fruescens (babakoan).





klasifikasi
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil)
Sub Kelas: Asteridae
Ordo: Solanales
Famili: Convolvulaceae (suku kangkung-kangkungan)
Genus: Ipomoea
Spesies: Ipomoea pes-caprae


Ipomoea pes-caprae tumbuh hanya di belakang garis pasang surut pada pantai. Tumbuh juga di daratan, sepanjang tepi jalan dan parit, sampai ketinggian 800 m. Tumbuhan ini tumbuh pada daerah berpasir di pantai dan berfungsi sebagai pengikat pasir sehingga mencegah terjadinya erosi air atau angin. Tumbuhan ini berkontribusi sebagai penstabil tanah pasir sehingga memfasilitasi kehadiran tumbuhan lain untuk tumbuh. Ipomoea pes-caprae memiliki potensi reklamasi yang baik setelah berhasil tumbuh sebagai tanaman pemula pada areal-areal bekas tambang. Tumbuhan ini dapat digunakan untuk tonik, diuretik dan pencahar, berguna juga untuk penyakit kulit. Di Indonesia, rebusan akar digunakan untuk mengurangi iritasi akibat infeksi kandung kemih. Pasta daunnya dipakai untuk obat bisul dan juga dipakai untuk mematangkan bisul. Bijinya bila dimakan setelah dikunyah dapat digunakan untuk obat kram dan sakit perut. Di Filipina, Australia, India dan Amerika Tengah, rebusan daunnya dipakai dalam mengobati rematik. Di Peninsular Malaysia dan Thailand, getah daunnya dibubuhkan pada bekas sengatan ubur-ubur.
Deskripsi dari tumbuhan ini adalah Liana bertahunan, kadang-kadang membelit, batangnya mengandung getah putih, sering berakar pada ruas-ruasnya. Daun sering meruncing ke satu sisi, bervariasi, membundar telur, menjorong, membundar, mengginjal. Perbungaan terbatas 1 dengan bunga tidak banyak, daun kelopak tidak sama, agak menjangat, mahkota mencorong, ungu sampai ungu kemerahan.Buah kapsul. Biji 4, membulat memojok tiga, hitam.

2. Barringtonia

Ekosistem ini berkembang di pantai berbatu tanpa deposit pasir di mana formasi pescaprae tidak dapat tumbuh. Habitat berbatu ini ditumbuhi oleh komunitas rerumputan dan belukar yang dikenal sebagai formasi Barrintonia. Komposisi komunitas ini sangat seragam di seluruh Indonesia. Meskipun komunitas ini terdiri dari berbagai macam spesies rerumputan dan semak belukar, namun beberapa jenis pepohonan, seperti cemara laut (Casuarina equisitifol) dan Callophyllum innopphyllum dapat mendominasi spesies tumbuhan lainnya.
Bila tanah di daerah pasang surut berlumpur, maka kawasan ini berupa hutan bakau yang memiliki akar napas. Akar napas merupakan adaptasi tumbuhan di daerah berlumpur yang kurang oksigen. Selain berfungsi untuk mengambil oksigen, akar ini juga dapat digunakan sebagai penahan dari pasang surut gelombang. Yang termasuk tumbuhan di hutan bakau antara lain Nypa, Acathus, Rhizophora, dan Cerbera. Jika tanah pasang surut tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh adalah: Heriticra, Lumnitzera, Acgicras, dan Cylocarpus.
Calophyllum (dari bahasa yunani: kalos yang artinya cantik, dan phullon yang artinya daun) adalah genus dari sekitar 200 spesies tanaman selalu hijau dari suku Clusiaceae. Kelompok pohon ini tumbuh mulai dari hutan di pegunungan hingga di rawa-rawa. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 30 m dan diameternya dapat mencapai 0,8 m. Daun tanaman ini mengkilap batang pohon ini berwarna abu-abu hingga putih. Warna kayu pohon ini dapat bervariasi tergantung spesies. Tumbuhan berkayu ini membesar dengan ketinggian mencapai 40 kaki. Batangnya berwarna kelabu di sebelah luar tetapi merah muda di sebelah dalamnya. Daun tumbuhan ini berwarna hijau dengan ukuran 3-5 inci panjang. Buahnya berwarna kuning keperangan dengan biji yang diselimuti tempurung.



Klasifikasi
Divisi : Spermatophyla
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Guttiferales
Suku : Guttiferae
Marga : Calophyllum
Jenis : Calophyllum inophyllum


Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan tumbuhan yang banyak ditemui di sekitar pesisir pantai. Nama lainnya kosambi atau bintagur, pemberian nama berbeda-beda tiap daerah. Penyebarannya sangat luas dari afrika, asia tengah hingga asia tenggara. Di pulau jawa banyak ditemui di sekitar cilacap, kendal dan jepara. Masyarakat biasa memanfaatkan tanaman ini sebagai tanaman obat, kayunya dimanfaatkan sebagai bahan pembuat kapal, bijinya dimanfaatkan untuk kerajinan tangan dan bahan bakar.
Tanaman ini memiliki tinggi antara 20-30 meter. Bunga nyamplung biasanya majemuk dan berbentuk tandan. Buahnya bulat seperti peluru, diameter 2,5-3,5 cm, berwarna hijau, dan berubah cokelat jika kering. Biji buah bulat, tebal, keras, berwarna coklat. Pada inti terdapat minyak berwarna kuning. Sebenarnya nyamplung termasuk tanaman langka yang terancam kepunahan, namun saat ini telah banyak konservasi dengan menanam kembali bibit.
Nyamplung biasa tumbuh di tepi sungai atau pantai yang berudara panas dengan ketinggian hingga 200 m dpl. Ciri-ciri pohon nyamplung antara lain batangnya berkayu, bulat, warna coklat, daunnya tunggal, bersilang berhadapan, bulat memanjang atau bulat telur. ujung daun tumpul, pangkal membulat, tepinya rata. Daun bertulang menyirip itu panjangnya 10-21 cm, lebar 6-11 cm dengan tangkai 1,5-2,5 cm. (Kompas. 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Dahuri, 2007. Keanekaragaman hayati laut
http://iptek.apjii.or.id/artikel/ttg_tanaman_obat/depkes/buku1/1-051.pdf
http://id.wikipedia.org/wiki/Calphyllum