PENDAHULUAN
Genesis gambut di Indonesia dimulai pada periode holosen yang dimulai dengan terbentukinya rawa-rawa sebagai akibat dari peristiwa transgresi dan regresi karena mencairnya es di kutub yang terjadi sekitar 4200-6800 tahun yang lalu (Sabiham, 1988). Pada periode pleistosen, yaitu periode sebelum holosen, permukaan laut berada kira- kira 60 m di bawah permukaan laut sekarang. Pendapat lain mengatakan gambut ombrogen di Indonesia mulai terbentuk pada 4000 sampai 5000 tahun yang lalu. Pembentukan gambut di Indonesia terutama di Sumatra dan Kalimantan terjadi pada penghujung masa glacial dimana pencairan es menyebabkan peningkatan muka air laut dan Sunda Shelf tergenang oleh air membentuk rawa- rawa. Akibatnya vegetasi yang ada menjadi terbenam dan mati, kemudian mengalami proses dekomposisi secara lambat, sehingga bahan organic terakumulasi.
Pada proses genesis gambut, dua tipe utama gambut yang dapat diidentifikasikan, yaitu:
1. Gambut topogen yang berbentuk pada wilayah depresi di belakang tanggul dimana gambut ini bersifat eutrofik dan biasanya kaya akan unsure hara.
2. Gambut omborgen yang terbentuk pada wilayah penggenangan dengan sumber air yang hanya berasal dari air hujan, gambut ini miskin unsure hara.
Di Indononesia istilah gambut telah umum dipakai untuk padanan “peat”. Peat artinya massa nabati yang terombak sebagian yang semula tumbuh dalam danau dangkal atau rawa( Whitten Brooks, thn 1978). Sedangkan menurut Moree (1977) mengartikan bahwa zat seratan atau fibrous berwarna kecoklatan atau kehitaman yang di hasilkan dari pelapukan vegetasi dan ditemukan dalam rawa, biasanya dianggap sebagai tahap awal dalam proses alihragam bahan nabati menjadi batubara.
Dalam pustaka bahasa Inggris digunakan dua istilah, yaitu “peat” dan “muck”. Menurut Landon (1984)”peat adalah bahan organic yang terlonggok dalam keadaan basah yang berlebihan, bersifat tidak mampat (unconsokidated) dan tidak terombak atau atau hanya terombak. Sedang “muck” ialah bahan organic yang telah terombak jauh, yang bagian- bagian tumbuhan semula sudah tidak terkenali lagi, mengandung lebih banyak bahan mineral dan biasanya berwarna lebih gelap dari “peat”.
Gambut merupakan tanah yang terbentuk dari bahan organik pada fisiografi cekungan atau rawa, akumulasi bahan organik pada kondisi jenuh air, anaerob, menyebabkan proses perombakan bahan organik berjalan sangat lambat, sehingga terjadi akumulasi bahan organik yang membentuk tanah gambut (Sagiman, 2006)Lahan rawa gambut dinilai tidak saja “Marginal” tetapi juga “fragile”, tingkat kesuburan tanah gambut ditentukan oleh sifat fisik, tingkat kematangan dan susunan haranya, sifat kimia tanah gambut sangat beragam, umumnya kandungan N, bahan organik, dan C/N ratio adalah tinggi.
PEMBAHASAN
Ekosistem Gambut, sebuah ekosistem yang unik yang lapisannya tersusun dari tim¬bunan bahan organik mati yang terawetkan sejak ribuan tahun lalu, dan permu-kaan atasnya hidup berbagai jenis tumbuahan dan satwa liar. Jika bahan organik di bawahnya dan kehidupan diatasnya musnah, maka ekosistem ini tak dapat pulih kembali.
Tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organ¬ik seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan (dedaunan, ranting kayu, dan semak) yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Tanah gambut um¬umnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang ta¬hun kecuali di drainase.
Sederhananya, tanah gambut secara alami ter¬dapat pada lapisan paling atas. Di bawahya ter¬dapat lapisan tanah alluvial pada kedalaman yang bervariasi. Lahan dengan ketebalan tanah gabut kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan atau ta¬nah bergambut. Disebut sebagai lahan gambut apa¬bila ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Dengan demikian, lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari 50 cm.
Gambar Lahan Gambut
A. PEMBENTUKAN GAMBUT
Pembentukan gambut yang terjadi di bawah kondisi jenuh air seperti pada daerah depresi, danau atau pantai banyak menghasilkan bahan organic oleh vegetasi yang telah beradaptasi dengan mangrove, rumput- rumputan atau hutan rawa. Pada daerah depresi tersebut terjadi genangan air terutama dari luapan sungai dan air hujan. Akibat dari penggenangan ini, proses dekomposisi bahan organic berjalan lambat dan terjadilah penimbunan bahan organic. Selama penimbunan bahan organic, komposisi vegetasi berubah secara bertahap sampai akhirnya terbentuk gambut yang berkembang di bawah pengaruh air tanah dan membentuk tanah gambut topogen atau gtambut air tanah. Penumpukan bahan organic yang terus menerus seresah vegetasi di atas nya membentuk lapisan gambut yang tebal. Semakin tebal gambut, akar tumbuhan akan sulit mencapai lapisan tanah mineral di bawah gambut t5ersebut, dan air sungai tidak melimpas sampai wilayah pembentukan gambut tebal tersebut. Air yang menggenang pada rawa gambut tersebut hanya berasal dari terperangkapnya air hujan saja. Semakin lama larutan gambut semakin miskin dengan unsur hara karena tidak mendapat persediaan hara dari air tanah atau air limpasan sungai. Gambut mempunyai keberagaman yang cukup tinggi tergantung pada lingkungan fisiknya. Berdasarkan lingkungan fisiknya, lahan gambut dibedakan atas enam macam bentuk (Noor, 2001), yaitu:
1. Gambut daratan rawa pantai
2. Gambut rawa lagun
3. Gambut cekungan atau lembah kecil yang menyatu dengan daratan
4. Gambut yang terisolasi pada lembah sungai
5. Gambut endapan karang (khusus kawasan salinitas)
6. Gambut rawa delta
Menurut lingkungan pembentukan dan fisiografi lahan gambut dapat dibedakan atas empat tipe lahan gambut, yaitu:
1. Gambut cekungan (basin peat ) adalah gambut yang terbentuk didaerah cekungan, lembah sungai atau rawa burit atau rawa belakang.
2. Gambut sungai ( river peat) adalah gambuit yang terbentuk di sepanjang sungai yang masuk kedaerah lembah kurang dari 1 km.
3. Gambut daratan tinggi (highland peat) adalah gam,but yang terbentuk di punggung-punggung bukit atau pegunungan
4. Gambut daratan pesisir atau pantai (coastal peat) adalah gambut yang terbentuk di sepanjang garis pantai.
Adapun pembagian lahan gambut berdasarkan kedalaman, yaitu :
• Lahan gambut dangkal, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 50-100 cm;
• Lahan gambut sedang, yaitu lahan dengan ketebalan gambut 100-200 cm;
• Lahan gambut dalam, yaitu lahan dengan ketebalan gam¬but 200-300 cm;
• Lahan gambut sangat dalam, yaitu lahan dengan keteba¬lan gambut lebih dari 300 cm.
B. Sifat-sifat Tanah Fisik, Kimia, dan Biologi
a. Sifat-sifat Fisik
Sifat-sifat fisik gambut sangat erat kaitannya dengan pengelolaan air gambut. Bahan
penyusun gambut terdiri dari empat komponen yaitu bahan organik, bahan mineral, air
dan udara. Perubahan kandungan air karena reklamasi gambut akan ikut merubahsifat-sifat fisik lainnya (Andriesse, 1988). Mengingat sifat-sifat fisik tanah gambut saling
berhubungan maka pembahasan sifat fisik dari tanah gambut tidak dapat dilakukan secara terpisah. Uraian tentang sifat-sifat fisik gambut ini akan dihubungankan dengan sifat-sifat kimia tanah gambut. Pemahaman akan sifat-sifat fisik akan sangat bermanfaat dalam menentukan strategi pemanfaatan gambut.
Menurut Hardjowigeno (1996) sifat-sifat fisik tanah gambut yang penting adalah: tingkatdekomposisi tanah gambut; kerapatan lindak, irreversible dan subsiden. Noor (2001) menambahkan bahwa ketebalan gambut, lapisan bawah, dan kadar lengas gambut merupakan sifat-sifat fisik yang perlu mendapat perhatian dalam pemanfaatan gambut.
Berdasarkan atas tingkat pelapukan (dekomposisi) tanah gambut dibedakan menjadi:
(1) gambut kasar (Fibrist ) yaitu gambut yang memiliki lebih dari 2/3 bahan organk kasar;
(2) gambut sedang (Hemist) memiliki 1/3-2/3 bahan organik kasar; dan
(3) gambut halus (Saprist) jika bahan organik kasar kurang dari 1/3.
Gambut kasar mempunyai porositas yang tinggi, daya memegang air tinggi, namun unsur hara masih dalam bentuk organic dan sulit tersedia bagi tanaman. Gambut kasar mudah mengalami penyusutan yang besar jika tanah direklamasi. Gambut halus memiliki ketersediaan unsur hara yang lebih tinggi memiliki kerapatan lindak yang lebih besar dari gambut kasar (Hardjowigeno, 1996).
b. Sifat-sifat Kimia
Kesuburan gambut sangat bervariasi dari sangat subur sampai sangat miskin. Gambut tipis yang terbentuk diatas endapan liat atau lempung marin umumnya lebih subur dari gambut dalam (Widjaya Adhi, 1988). Atas dasar kesuburannya gambut dibedakan atas gambut subur (eutropik), gambut sedang (mesotropik) dan gambut miskin (oligotropik). Secara umum kemasaman tanah gambut berkisar antara 3-5 dan semakin tebal bahan organik maka kemasaman gambut meningkat. Gambut pantai memiliki kemasaman lebih rendah dari gambut pedalaman. Kondisi tanah gambut yang sangat masam akan menyebabkan kekahatan hara N, P, K, Ca, Mg, Bo dan Mo. Unsur hara Cu, Bo dan Zn merupakan unsur mikro yang seringkali sangat kurang (Wong et al. 1986, dalam Mutalib et al.1991.)Kekahatan Cu acapkali terjadi pada tanaman jagung, ketela pohon dan kelapa sawit yang ditanam di tanah gambut.
c. Sifat biologi
Menurut Waksman dalam Andriesse (1988) perombakan bahan organik saat pembentukan gambut dilakukan oleh mikroorganisme anaerob dalam perombakan ini dihasilkan gas methane dan sulfida. Setelah gambut didrainase untuk tujuan pertanian
maka kondisi gambut bagian permukaan tanah menjadi aerob, sehingga memungkinkan fungi dan bakteri berkembang untuk merombak senyawa sellulosa, hemisellulosa, dan protein. Gambut tropika umumnya tersusun dari bahan kayu sehingga banyak mengandung lignin, bakteri yang banyak ditemukan pada gambut tropika adalah Pseudomonas selain fungi white mold dan Penecilium (Suryanto, 1991). Pseudomonas merupakan bakteri yang mampu merombak lignin(Alexander, 1977). Penelitian tentang dekomposisi gambut di Palangkaraya menunjukkan bahwa dekomposisi permukaan gambut terutama disebabkan oleh dekomposisi aerob yang dilaksanakan oleh fungi (Moore and shearer, 1997).
Pada berapa penelitian di lahan gambut Jawai (Kab Sambas) dan Jangkang (Kab Pontianak) dapat diisolasi bakteri Bradyrhizobium japonicum yang dapat dipergunakan untuk meningkatkan hasil kedelai di lahan gambut. Kedelai adalah tanaman yang sangat banyak memerlukan nitrogen, 40 – 80 persen kebutuhan nitrogen kedelai dapat disuplai melalui simbiosis kedelai dan bakteri bintil akar (B. japonicum ). Gambut memiliki ketersediaan N yang rendah. Inokulasi B japonicum asal Jawai dan Jangkang yang efektif dapat meningkatkan kandungan N dan hasil tanaman kedelai (Sagiman dan Anas.2005).
Adapun sifat- sifat tanah gambut lain yang perlu diketahui, antara lain :
a. Tingkat kematangan
Fibrik, yaitu gambut dengan tingkat pelapukan awal (masih muda) dan lebih dari ¾ bagian volumenya beru¬pa serat segar (kasar);Hemik, yaitu gambut yang mempunyai tingkat pelapukan sedang (setengah matang), sebahagian bahan telah men¬galami pelapukan dan sebahagian lagi berupa serat.Saprik, yaitu gambut yang tingkat pelapukannya sudah lanjut (matang).
b. Warna
Meskipun bahan asal gambut berwarna kelabu, coklat, atau kemerahan tetapi setelah dekomposisi warna gam¬but menjadi lebih gelap, yang pada umumnya berwarna coklat hingga kehitaman. Warna gambut menjadi salah satu tingkat kematang gambut. Semakin matang, gam¬but semakin berwarna gelap, dan dalam keadaan basah warna gambut biasanya semakin gelap.
c. Kapasitas Menahan Air
Gambut memiliki porositas yang tinggi sehingga menpu¬nyai daya menyerap air sangat besar hingga 850% dari berat keringnya (Suhardjo dan Dreissen, 1975). Oleh se¬bab itu, gambut memiliki kemampuan sebagai penambat air (reservoir) yang dapat menahan banjir saat musim hujan dan melepaskan air saat musim kemarau sehingga intrusi air laut saat kemarau dapat dicegahnya.
d. Kering Tak Balik (Hydrophobia Irreversible)
Lahan gambut yang telah dibuka dan telah didrainase dengan membuat kanal atau parit, kandungan airnya menurun secara berlebihan. Penurunan air permukaan akan menyebabkan lahan gambut menjadi kekeringan. Gambut mempunyai sifat kering tak balik. Artinya, gam¬but yang sudah mengalami kekeringan yang ekstrim , akan sulit menyerap air kembali.
e. Daya hantar Hidrolik
Gambut memiliki daya hantara hidrolik (penyaluran air) secara horizontal (mendatar) yang cepat sehingga me¬macu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke sal¬uran drainase. Sebaliknya, gamut memiliki daya hidrolik vertikal (keatas) yang sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah.
f. Daya tumpu
Gambut memiliki tumpu atau daya dukung yang rendah karena mempunyai ruang pori yang besar sehingga ker¬apatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Sebagai akibatnya, pohon yang tumbuh diatasnya menjadi mudah rebah.
g. Penurunan Permukaan Tanah (Subsidence)
Setelah dilakukan reklamasi atau drainase , gambut berangsur akan kempis dan mengalami subsidence atau amblas, kondisi ini disebabkan oleh proses pematangan gambut dan berkurangnya kandungan air. Semakin tebal gambut, penurunan tersebut semakin cepat dan berlangsungnya semakin lama. Rata-rata kecepatan penurunan adalah 0,3 - 0,8 cm/bulan, dan terjadi selama 3-7 tahun setelah drainase.
h. Mudah Terbakar
Lahan gambut cenderung mudah terbakar, karena kandungan bahan organik yang tinggi dan memi¬liki sifat kering tak balik, porositas tinggi, dan daya hantar hidrolik vertikal yang rendah. Kebakaran di gambut sangat sulit untuk dipadamkan karena dapat menembus dibawah permukaan tanah.
Formasi hutan rawa gambut dari tepi higga kubah gambut
Lahan gambut di Indonesia pada umumnya mem¬bentuk kubah gambut (peat dome). Pada bagian pinggiran kubah, didominasi oleh oleh tumbuhan kayu yang masih memperoleh pasokan hara dari air tanah dan sungai sehingga banyak jenisnya dan um¬umnya berdiameter besar. Hutan seperti itu, dise¬but hutan rawa campuran (mixed swamp forest).
Menuju ke bagian tengah, letak air tanah sudah ter¬lalu dalam sehingga perakaran tumbuhan kayu hu¬tan tidak mampu mencapainya. Akibatnya vegetasi hutan hanya memperoleh hara dari air hujan. Veg¬etasi mengalami perubahan, jenis-jenis kayu hutan semakin sedikit, relatif kurus dan rata-rata berdiam¬eter kecil. Vegetasi hutan seperti itu disebut hutan padang. Gambut tebal yang terbentuk, umumnya bersifat masam dan miskin hara sehingga memiliki kesuburan alami yang rendah sampai sangat ren¬dah. Perubahan dari wilayah pinggiran gambut yang relatif kaya hara menjadi wilayah gambut embrogen yang miskin, diperkirakan terjadi pada kedalaman gambut antara 200-300 cm (Suhardjo dan Widjaja-Adhi, 1976).
C. Kesuburan Gambut
Kesuburan gambut dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu Eutropik (subur), Mesotropik (sedang), dan Oligotopik (tidak subur). Secara umum gambut tapogen yang dangkal dan dipengaruhi air tanah dan sungai umumnya tergolong gambut mesotro¬pik sampai eutropik sehingga mempunyai potensi kesuburan alami yang lebih baik dari pada gambut ombrogen (kesuburan hanya dipengaruhi oleh air hujan) yang sebagian besar oligotropik.
D. Faktor Yang Mempengaruhi Kesuburan Gambut
Tingkat kesuburan tanah gambut dipengaruhi oleh berbagai hal yaitu ketebalan gambut, bahan asal, kualitas air, kematangan gambut dan kondisi tanah dibawah gambut. Secara umum, gambut yang berasal dari tumbuhan berbatang lunak lebih subur dari pada gambut yang berasal dari tumbuhan yang berkayu. Gambut yang lebih matang lebih subur dari pada gambut yang belum matang. Gambut yang mendapat luapan air sungai atau payau lebih subur dari pada gambut yang hanya memperoleh luapan atau cura¬han air hujan. Gambut yang terbentuk diatas lapisan liat/lumpur lebih subur dari pada gambut yang ter¬dapat diatas pasir. Gambut dangkal lebih subur dari¬pada gambut dalam.
E. KLASIFIKASIAN GAMBUT
Untuk mencegah terjadinya pengklasifikasian kembali setelah tanah di usahakan, 3 faktor yang perlu di perhatiakan dalam klasifikasi histosol adalah ( Hardjoigeno, 1993),yaitu :
1. Kandungan minimum bahan organic
2. Ketebalan lapisan bahan organic
3. Kemungkinan terjadinya subsiden bila drainase diperbaiki
Histosol adalah tanah dengan sifat- sifat :
1. Kandungan C- organic > 12 persen bila bagian mineral tidak mengandung liat, atau < 18% bila bagian mineral mengandung 60% liat; dan tebalnya mencapai;
a. 10 cm atau kurang bila terdapat di atas kontak litik atau paralitik, dengan cacatan bahwa tebal lapisan bahan organic tersebut paling sedikit 2 kali lebih tebal dari lapisan mineral da atas kontak litik/paralitik, atau
b. Tidak diperhatikan ketebalannya biloa lapisan bahan organic tersebut terdapat di atas bahan-bahan fragmental, atau
2. Mempunyai lapisan dengan bahan organic tinggi seperti di atas dengan permukaan lapisan tersebut terdapat pada kedalaman kurang dari 40 cm dan
a. 1 60 cm atau lebih bila kandungan serat meliputi ¾ volume atau lebih, atau bila BV lembab lebih kecil 0,1 g cm-3 , atau
b. 2 40 cm atau lebih lapisan bahan organic tersebut jenuh air lebih dari 6 bulan atau telah diadakan perbaikan drainase, dan bahan organic terdirri dari saprik, hemik atau fibrik kurang dari 2/3 volume dan BV lembab 0,1 g cm-3 atau lebih, dan mempunyai kandungan bahan organic tinggi seperti di atas yang tidak terdapat lapisan tanah mineral setebal 40 cm atau lebih, baik dipermukaan ataupun yang batas atasnya terletak pada kedalaman kurang dari 40 cm, dan tidak mempunyai lapisan tanah mineral, yang tebalnya kumulatif 40 cm dan terletak pada kedalaman kurang dari 80 cm.
KESIMPULAN
Tanah gambut adalah tanah yang terbentuk dari akumulasi bahan organ¬ik seperti sisa-sisa jaringan tumbuhan (dedaunan, ranting kayu, dan semak) yang berlangsung dalam jangka waktu yang cukup lama. Tanah gambut um¬umnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang ta¬hun kecuali di drainase.
Sederhananya, tanah gambut secara alami ter¬dapat pada lapisan paling atas. Di bawahya ter¬dapat lapisan tanah alluvial pada kedalaman yang bervariasi. Lahan dengan ketebalan tanah gabut kurang dari 50 cm disebut sebagai lahan atau ta¬nah bergambut. Disebut sebagai lahan gambut apa¬bila ketebalan gambut lebih dari 50 cm. Dengan demikian, lahan gambut adalah lahan rawa dengan ketebalan gambut lebih dari 50 cm.
Gambut memiliki sifat fisik, kimia, biologi serta adapun sifat- sifat lain yang penting di ketahui, seperti : tingkat kematangan, warna, kapasitas air, kering tak balik, daya hantar hidrolik, daya tumpu, penurunan permukaan tanah, dan mudah terbakar.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander, M. 1977. Introduction to soil microbiology. John Willey & Sons New York
Barchia. M.F., 2006. Gambut: Agroekosistem dan Transformasi Karbon, University Press Gadjah Mada, Jogyakarta.
Landon, J.R (ed). 1984. Booker tropical soil manual. Booker Agriculture International Limited. London.xiv+450h.
Moore,T.A. and J.C. Shearer, 1997. Evidence of aerobic degradation of Palangka Raya
Peat and Implication for its Sustainability. In Biodiversity and Sustainability of Tropical
Peatlands. Eds J.O. Rieley. and S.E. Page. Proceedings of the international Symposium
on Biodiversity, Environmental importance and sustainability of Tropical Peat and
Peatlands, held in Palangkaraya, Central Kalimantan, Indonesia, 4-8 sept. 1995.
Noor, M. 2001. Pertanian lahan Gambut Potensi dan Kendala. Penerbit Kanisius.
Sagiman, S. 2007, Pemanfaatan Lahan Gambut dalam Perspektif Pertanian Berkelanjutan, Fakultas Pertanian, Universitas Tanjung Pura, Pontianak.
Suhardjo, H., & IPG Widjaja-Adhi. 1976. Chemical characteristics of the upper 30cms of peat soils from Riau. Bull. 3 Peat and Podzolic Soils in Indonesia. Soil Res. Inst. Bogor.h74-92.
Whitten, D.G.A., & J.R.V. Brooks. 1978. The Penguin dictionary of geology. Penguin Books. New York. 516h.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar