Powered By Blogger

Kamis, 14 Oktober 2010

PANTAI BERPASIR

Pantai berpasir adalah bentuk pantai yang landai atau datar dengan dominasi pasirnya yang sangat banyak. Pada pantai berpasir memiliki gerakan ombak pengaruh yang menyertai: Ukuran Partikel, Pergerakan Substrat, & Kandungan Oksigen


gambar Pantai berpasir Bangka-belinyu

Pada umumnya pantai berpasir lebih banyak dikenal oleh manusia dibanding dengan jenis pantai yang lain. Hal ini dikarenakan pantai berpasir memiliki manfaat yang sangat banyak dibanding dengan pantai jenis yang lainnya. Pantai berpasir adalah pantai dengan ukuran substrat 0.002-2 mm. Jenis pantai berpasir termasuk dalam jenis pantai dengan partikel yang halus. Sama halnya pada pantai berbatu, pada pantai berpasir juga dibagi dalam beberapa zonasi, yaitu:
1. Mean High Water of Spring Tides (MHWS) rata-rata air tinggi pada pasang purnama.
Zona ini berada pada bagian paling atas. Pada daerah ini berbatasan langsung dengan daerah yang kering dan sering terekspose
2. Mean Tide Level (MLS) rata-rata level pasang surut.
Zona ini merupakan daerah yang paling banyak mengalami fluktusi pasang surut. Pada daerah ini juga dapat ditemukan berbagai ekosistem salah satunya ekosistem padang lamun.
3. Mean Water Low of Spring Tides (MLWS) rata-rata air rendah pada pasang surut purnama.
Zona ini merupakan zona yang paling bawah. Pada daerah ini fliktuasi pasang surut sangat sedikit yang berpengaruh karena daerah ini tidak terkena fluktuasi tersebut. Daerah ini juga bias ditemukan ekosistem terumbu karang.
Menurut Nybakken (1992) zonasi yang terbentuk pada pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh faktor fisik perairan. Hal ini nampak dari hempasan gelombang dimana jika kecil maka ukuran partikelnya juga kecil, tetapi sebaliknya jika hempasan gelombang besar maka partikelnya juga akan besar. Pada pantai berpasir hempasan gelombangnya kecil menyebabkan butiran partikelnya kecil.

Secara umum kita dapat membagi kawasan pantai berpasir sebagai kawasan pasang surut karena sangat dipengaruhi oleh pola naik dan surutnya air laut kedalam tiga zona yang merupakan pemilahan dari pola pergerakan pasang surut dan hempasan riak gelombang yang dinamis tersebut. Zona pertama merupakan daerah diatas pasang tertinggi dari garis laut yang hanya mendapatkan siraman air laut dari hempasan riak gelombang dan ombak yang menerpa daerah tersebut (supratidal), Zona kedua merupakan batas antara surut terendah dan pasang tertinggi dari garis permukaan laut (intertidal) dan zona ketiga adalah batas bawah dari surut terendah garis permukaan laut (subtidal).
Jika anda berjalan pada kawasan pantai yang sesekali dibasahi oleh hempasan riak kecil gelombang, dan pada batas tumbuhnya beberapa tanaman khas pantai seperti pohon kelapa, dan pohon lainnya, kawasan inilah yang di kenal dengan zona supratidal. Kawasan ini hanya sesekali mendapat percikan air pada pasang-pasang tertinggi dan sering terjadi proses pengeringan dengan kontak langsung oleh sinar matahari serta udara pantai, termasuk pengaruh daratan yang lebih dominan terutama oleh aktifitas manusia. Pada kawasan yang lebih rendah yang terus dibasahi oleh air laut saat pasang adalah zona intertidal yang lebih “nyaman” bagi beberapa hewan kecil yang bergerak lincah. Kawasan ini sesekali terendam oleh air saat pasang dan sesekali terjemur oleh teriknya matahari saat surut.
Pada kawasan supratidal dan intertidal, banyak di dominasi oleh hewan-hewan yang bergerak cepat untuk mencari makan seperti beberapa jenis kepiting dan atau mengubur diri kedalam pasir seperti beberapa jenis kerang-kerangan (bivalve) dan cacing pantai (Annelida). Khusus pada zona intertidal, hewan-hewan yang membanamkan diri pada pasir (infauna) lebih banyak di jumpai di bandingkan dengan daerah subtidal yang di dominasi oleh hewan-hewan kecil yang hidup di atas permukaan pasir (epifauna).
Dibalik keindahan kawasan pantai berpasir yang terlukis oleh kuas alam, tidak jarang dari kita menganggapnya sebagai kawasan “tandus” yang hanya berisikan pasir atau benda mati lainnya. Kita mungkin tidak pernah menyangka kalau kawasan dinamis yang terus di terjang riak gelombang laut tersebut sebenarnya merupakan “rumah” bagi berjuta hewan kecil dan alga laut yang khas. Hewan-hewan tersebut hidup dengan pola unik yang harus menyesuaikan diri dengan dinamika pantai yang terus bergolak.
Sebagian besar dari hewan-hewan ini adalah hewan yang bergerak aktif atau membenamkan diri dalam pasir (infauna) dan atau melekat pada beberapa substrat padat seperti batuan yang terdapat di sepanjang daerah tersebut.
Kita jarang melihat adanya organisma pada kawasan supratidal atau intertidal saat berjalan santai diatasnya, karena hewan-hewan kecil pada kawasan ini sangat aktif dan mempunyai semacam alat pendeteksi untuk memastikan mereka aman dari gangguan hewan lain termasuk manusia. Saat mereka merasa terganggu, dengan sangat cepat mereka bergerak membenamkan diri kedalam pasir dan atau mencari kawasan yang lebih aman dari jangkauan. Pada beberapa kawasan yang jauh dari kegiatan manusia, kita dapat menemukan begitu ramainya kehidupan pantai berpasir dari kegiatan “pencarian makanan” dan “bermain” di sela-sela hempasan riak gelombang oleh kepiting-kepiting kecil termasuk hermit crab, cacing-cacing pantai, kerang-kerangan kecil. Pada daerah yang sarat dengan kegiatan manusia (pantai wisata) kita mungkin masih dapat menyaksikan keunikan kehidupan tersebut saat malam hari.
Kita sering melihat sepintas kecerdikan kepiting kecil yang hidup di tepi pantai sambil sesekali berlari mencari makan dan bersembunyi kedalam lubang yang merupakan “rumah kecil” ketika merasa terusik, atau secara tidak sengaja, saat menyandarkan telapak tangan kita keatas pasir yang sesekali terendam, kita sering merasakan gigitan-gigitan kecil dari cacing-cacing pantai yang bersembunyi di sela-sela pasir dan bahkan kita sering memungut kerang-kerangan kecil yang masih hidup terkubur di tepi pantai berpasir.
Keseluruhan hewan-hewan tadi adalah penguhi tetap kawasan pantai berpasir yang saling terkait kedalam suatu ekosistem pesisir yang unik dan khas. Semua saling terkait walau masing-masing tinggal dan mencari makan pada zona yang berbeda. Keterkaitan yang khas ada pada pola pemanfaatan ruang dan makanan. Namun sayangnya, di beberapa kawasan pantai Indonesia, hampir kita tidak lagi dapat menemukan pola keseimbangan yang terjadi antara ketiga zona tersebut, karena umumnya seluruh daerah subtidal yang dekat dengan kegiatan manusia telah rusak dan hewan-hewan yang hidup di sana tersingkir kedaerah-daerah yang lebih jauh dan aman. Hingga sering kita menemukan banyak cangkang organisma laut di sepanjang garis pantai yang kita lalui dan itu merupakan rumah kecil dari beberapa hewan yang mendominasi kawasan subtidal.
Pada daerah interstitial pantai berpasir, kita mengenal beberapa macam hewan, salah satunya adalah meiofauna. Istilah interstisial secara umum adalah ruang di antara partikel sedimen dan juga digunakan sebagai sinonim dari organisme yang hidup di dalamnya. Meiofauna merupakan istilah yang sering dipakai sebagai padanan kata interstisial atau psammon. Meiofauna adalah organisme yang hidup secara interstisial. Sinonimnya adalah meiobentos. Meiofauna dapat pula diartikan sebagai kelompok metazoa kecil yang berada di antara mikrofauna dan makrofauna. Meiofauna adalah kelompok hewan berukuran antara 63–1000 μm atau hewan-hewan multiseluler yang lolos pada saringan 0.063–1 mm dan merupakan organisme yang melimpah pada komunitas dasar yang bersubstrat lunak atau pada sedimen laut mulai dari zona litoral atas sampai pada zona abisal. Istilah endobentik digunakan bagi meiofauna yang berpindah dalam sedimen. Meiofauna yang hidup dan berpindah dalam ruang interstisial disebut mesobentik, sedangkan meiofauna yang hidup pada batas antara sedimen dan air (sediment-water interface) disebut epibentik.
Berdasarkan pada tipe habitatnya, meiofauna dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kelompok, yaitu :
1. Meiofauna yang hidup pada substrat kasar (pasir) Contoh meiofauna yang hidup di pasir adalah Copepoda, Ostracoda, Gastrotricha, Turbellaria, Oligochaeta, Tardigrada dan Archiannelida
2. Meiofauna yang hidup pada substrat lunak (lumpur) Contoh meiofauna yang hidup di lumpur adalah Nematoda, Copepoda, Foraminifera, Ostracoda dan Annelida
3. Meiofauna yang hidup di lapisan sedimen yang miskin oksigen dan/atau tanpa oksigen Cotoh meiofauna ini adalah Nematoda, Turbellaria, Ciliata, Rotifera, Gastrotricha, Gnathostomulida dan Zooflagellata
Pada organisme yang hidup di pantai berpasir daerah intertidal lebih banyak mengubur diri saat air sedang surut. Hal ini dikarenakan daerah tersebut sangat terbuka dari sinar matahari yang menyebabkan kekeringan.
Seperti hewan interstitial lainnya, meiofauna juga mengalami zonasi. Berikut zona meiofauna berdasarkan keadaan pasir
1.Zona pasir kering (dry sand zone)
Yaitu zona sampai kedalaman 15 cm, temperatur pada daerah ini selalu berubah-rubah dengan kelembaban dapat kurang dari 50%, hanya terdapat sedikit nematoda dan oligochaetes hidup di zona ini.
2.Zona pasir lembab (moist sand zone)
Yaitu zona yang terletak dibawah dry sand zone. Temperatur pada zona ini relatif konstan dengan kelembaban lebih dari 50%. Harpacticoid copepoda, mystacocarid, nematoda, oligochaetes dan turbelaria banyak terdapat di zona ini.
3.Zona air (water table stratum)
Yaitu zona dengan kelembaban 40-70%, nematoda dan crustacea mendominasi zona ini.
4.Zona oksigen rendah (low oxygen zone)
Yaitu zona dmana populasi meiofauna sangat jarang dijumpai. Hal tersebut dikarenakan tidak adanya oksigen yang tersedia untuk metabolism organisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar