Ekosistem Terumbu Karang
Menurut Sukarno dkk. (1983), terumbu karang adalah suatu ekosistem di dasar laut tropik yang dibentuk oleh biota laut penghasil kapur khususnya jenis-jenis karang batu dan algae berkapur, bersama-sama dengan biota yang hidup di dasar lainnya. Terumbu karang merupakan ekosistem yang khas di daerah tropik dan sering digunakan untuk menentukan batas lingkungan perairan laut tropik. Sukarno dkk., (1983) mengatakan bahwa terumbu karang merupakan ekosistem perairan dangkal tropika dengan komunitas berbagai biota laut yang secara kolektif membentuk substrat padat dalam bentukan kapur (limestone). Terumbu karang selalu hidup bersama-sama dengan hewan lain. Rangka karang itu sendiri memberikan tempat perlindungan berbagai macam spesies hewan, termasuk jenis penggali lubang dari golongan moluska, cacing polychaeta, dan kepiting. Terumbu karang juga merupakan tempat hidup yang sangat baik bagi ikan hias, selain itu dapat melindungi pantai dari hempasan ombak sehingga dapat mengurangi proses abrasi (Hutabarat dan Evans, 1986).
Ekosistem terumbu ditandai dengan perairan yang selalu jernih, produktif dan kaya CaCO3 (kapur) (Randall dan Eldredge, 1983 dalam Sukarno, 2001). Terumbu karang mempunyai dasar yang keras, tahan terhadap gempuran ombak, terdiri dari kerangka dasar yang sangat keras dari kerangka karang keras dan algae berkapur dan kumpulan endapan kapur yang terperangkap di antara kerangka dasar tadi. Endapan kapur tadi berasal dari hasil erosi baik secara fisik maupun secara biologis kerangka dasar dan sisa-sisa kerangka biota dasar lainnya yang hidup di sekitar terumbu karang yang volumenya dapat mencapai 10 kali atau lebih volume kerangka dasarnya.
Produktifitas primer di perairan ekosistem terumbu karang ini bisa mencapai di atas 10.000 gr/m2/th, yang berarti sekitar 100-200 kali dibandingkan dengan produktifitas primer di perairan laut lepas umumnya, yang hanya berkisar 50-100 gr/m2/th (Supriharyono, 2000), karenanya terumbu karang sering diibaratkan sebagai oasis di perairan laut dangkal (Salm, 1984 dalam Supriharyono, 2000).
Menurut Nybakken (1988); Nontji (1987), MolenGraaf (1929) dalam Sukarno (2001) menyatakan formasi terumbu karang pada umumnya dapat dibagi atas 3 golongan (Gambar 1), yaitu:
1. Terumbu karang pantai (fringing reefs)
Terumbu karang pantai berkembang di sepanjang pantai dan mencapai kedalaman tidak lebih dari 40 meter. Terumbu karang ini tumbuh ke atas dan ke arah laut. Pertumbuhan yang baik terdapat di bagian yang cukup arus, sedangkan di antara pantai dan tepi luar terumbu, karang cenderung mempunyai pertumbuhan yang kurang baik, bahkan banyak yang mati karena sering mengalami kekeringan.
2. Terumbu karang penghalang (barrier reef)
Terumbu karang tipe penghalang ini terletak di berbagai jarak kejauhan dari pantai tersebut oleh dasar laut yang terlalu dalam untuk pertumbuhan karang batu (40-70 meter). Umumnya terumbu karang tipe ini memanjang menyusuri pantai dan biasanya berputar seakan-akan merupakan penghalang bagi pendatang dari luar.
3. Terumbu karang cincin (atoll)
Terumbu karang ini merupakan bentuk cincin yang melingkari goba. Kedalaman goba di dalam atoll rata-rata 45 meter. Atol bertumpu pada dasar laut yang dalamnya di luar batas kedalaman karang batu penyusun terumbu karang dapat hidup.
Bedasarkan kemampuan karang untuk membentuk terumbu dan simbiosisnya dengan alga simbiotik, keseluruhan karang dapat dibagi oleh beberapa kelompok (Sorokin, 1993), yaitu :
1. Hermatipik-simbiotik. Kelompok ini termasuk sebagian besar karang-karang Skleractinia pembentuk bangunan terumbu, Octocoral dan Hydrocoral.
2. Hermatipik-asimbiotik. Kelompok ini memiliki pertumbuhan yang lambat dapat membentuk kerangka kapur masif tanpa pertolongan algae simbiotik, yang mana mereka mampu untuk hidup di lingkungan yang gelap di dalam gua, terowongan dan bagian terdalam dalam kontinental slope. Di antara mereka terdapat Scleractinia-Scleractinia asimbiotik Tubastrea dan Dendrophyllia, dan Hydrocoral Stylaster rosacea.
3. Ahermatipik-simbiotik. Di antara Scleractina didapatkan bagian yang dapat masuk ke dalam grup ini, sebagian kecil Fungiidae, seperti Heteropsammia dan Diaseris, dan juga karang Leptoseris (Famili Agaricidea), yang tetap sebagai satu polip-polip yang kecil atau koloni-koloni kecil, dan tidak dapat dimasukkan sebagai pembentuk bangunan karang. Kelompok ini juga termasuk sebagian besar Octocoral-Alcyonacea dan Gorgonacea, yang memiliki algae simbion akan tetapi tidak membentuk bangunan kapur masif.
4. Ahermatipik-asimbiotik. Untuk kelompok ini termasuk beberapa Scleractinia, beberapa spesies dari genera Dendrophyllia dan Tubastrea, yang mempunyai polip yang kecil. Ahermatipik-asimbiotik juga termasuk Hexacoral dari ordo Antiphataria dan Corallimorpharia, dan simbiotik Octocoral.
Faktor Pembatas Pertumbuhan Karang Keras
Ekosistem terumbu karang merupakan ekosistem yang dinamis, mengalami perubahan terus menerus dan tidak tahan terhadap gangguan-gangguan alam yang berasal dari luar terumbu. Beberapa faktor yang membatasi pertumbuhan terumbu karang (Nybakken, 1988), adalah :
1. Cahaya; diperlukan untuk melakukan fotosintesis algae simbiotik dalam jaringan karang batu.
2. Suhu; pertumbuhan karang yang optimum terjadi pada perairan yang rata-rata suhu tahunannya berkisar 23-250C. Akan tetapi karang juga dapat mentolerir suhu pada kisaran 200C, sampai dengan 36-400, Sukarno dkk., (1983) mengatakan bahwa suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25-280C.
3. Kedalaman; pertumbuhan terumbu karang juga dibatasi oleh kedalaman dimana terumbu di daerah Indo-Pasifik kebanyakan tumbuh pada kedalaman 25 m atau kurang (Levinton, 1982), dan pada daerah Karibia terumbu hermatipik berkembang dengan baik pada kedalaman di bawah 70 meter.
4. Salinitas perairan; karang dapat hidup pada kisaran salinitas 32-35 0/00. Toleransi karang batu terhadap salinitas cukup tinggi yang dapat berkisar antara 27-400/00.
5. Kekeruhan dan sedimentasi; kekeruhan dan sedimentasi yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan karang. Respon bentuk pertumbuhan karang terhadap tingkat kekeruhan berbeda-beda, sebagaimana pernyataan yang dikemukakan Done (1982) dalam Babcock and Smith (2000), yang menyatakan pada terumbu yang keruh sering didominasi oleh bentuk pertumbuhan massif, yang mana untuk perairan jernih dicirikan oleh bentuk pertumbuhan bercabang, yang umumnya dari Famili Acroporiidae. Selanjutnya dikatakan peningkatan tingkat sedimentasi dapat menurunkan tingkat ketahanan pada Acropora millepora, yang akan berimplikasi terhadap tingkat rekrutmen pada populasi karang (Babcock and Smith, 2000).
6. Pergerakan air (arus) diperlukan untuk tersedianya aliran yang membawa masukan makanan dan oksigen serta menghindarkan karang dari pengaruh sedimentasi.
Tipe-Tipe Pertumbuhan Karang
Suharsono (1996) mengatakan bahwa perbedaan tempat hidup, kondisi lingkungan serta bertambahnya kedalaman merupakan faktor yang mempengaruhi morfologi karang. Masing-masing karang mempunyai respon yang spesifik terhadap lingkungan. Karang mempunyai bentuk pertumbuhan individu maupun koloninya yang berkaitan erat dengan tata air dan pencahayaan dari sinar matahari pada masing-masing lokasi.
Beberapa bentuk contoh pertumbuhan karang dan karakteristik dari masing-masing genera menurut Dahl (1981) dalam Ongkosongo (1988), yaitu:
• Tipe bercabang (branching); karang seperti ini memiliki cabang dengan ukuran cabang lebih panjang dibandingkan dengan ketebalan atau diameter yang dimilikinya.
• Tipe padat (massive); karang ini berbentuk seperti bola, ukurannya bervariasi mulai dari sebesar telur sampai sebesar ukuran rumah. Jika pada beberapa bagian karang itu mati, karang ini akan berkembang menjadi tonjolan sedangkan bila berada di daerah dangkal di bagian atasnya akan berbentuk seperti cincin. Permukaan terumbu halus dan padat.
• Tipe kerak/merayap (encrusting); karang seperti ini tumbuh menutupi permukaan dasar terumbu. Karang ini memiliki permukaan kasar dan keras serta lubang-lubang kecil.
• Tipe meja (tabulate); karang ini berbentuk menyerupai meja dengan permukaan yang lebar dan datar. Karang ini ditopang oleh sebuah batang yang berpusat atau bertumpu pada satu sisi membentuk sudut atau datar.
• Tipe daun (foliose); karang ini tumbuh dalam bentuk lembaran-lembaran yang menonjol pada dasar terumbu, berukuran kecil dan membentuk lipatan melingkar.
• Tipe jamur (mushroom); karang ini berbentuk oval dan tampak seperti jamur, memiliki banyak tonjolan seperti punggung bukit yang berlur dari tepi hingga kepusat mulut.
Sedangkan menurut Supriharyono (2000), dikenal beberapa bentuk umum pertumbuhan karang, di antaranya, yaitu: globose, ramose, branching, digitate plate, compound plate, fragile branching, encrusting, plate, foliate, dan mikro atol; yang mana bentuk-bentuk karang ini dipengaruhi oleh beberapa faktor alam terutama oleh level cahaya dan tekanan gelombang. Selanjutnya Supriharyono (2000) menyatakan, ada empat faktor lingkungan yang mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang (Gambar 2), yaitu:
1. Cahaya; ada tendensi bahwa semakin banyak cahaya, maka rasio luas permukaan dengan volume karang akan semakin turun. Kenaikan level cahaya akan merubah kelompok karang dari yang berbentuk globose ke bentuk piring (plate).
2. Hidrodinamis; tekanan hidrodinamis, seperti gelombang atau arus, akan memberikan pengaruh terhadap bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa semakin besar tekanan hidrodinamis, bentuk karang akan lebih mengarah ke bentuk encrusting.
3. Sedimen; sedimen diketahui dapat mempengaruhi kehidupan karang, dan juga dapat mempengaruhi bentuk pertumbuhan karang. Ada kecenderungan bahwa karang yang tumbuh atau teradaptasi di perairan yang sedimennya tinggi, berbentuk foliate, branching dan ramose. Sedangkan di perairan yang jernih atau tingkat sedimentasinya rendah lebih banyak dihuni oleh karang yang berbentuk piring (plate dan digitate plate).
4. Sub-areal exposure; yang dimaksud di sini adalah daerah-daerah karang yang pada saat-saat tertentu, seperti ketika pada saat pasang surut rendah, airnya surut sekali, sehingga banyak di antara karang yang mencuat ke permukaan air. Kondisi semacam ini biasanya bisa sampai berjam-jam, tergantung lama waktu pasang. Karenanya banyak di antara karang yang tidak bisa bertahan lama hidup pada kondisi semacam ini. Berkaitan dengan level exposure, ada kecenderungan bahwa semakin tinggi level exposure semakin banyak jenis karang yang berbentuk globose dan encrusting. Disamping itu tanda spesifik adanya sub-areal exposure adalah banyaknya karang yang berbentuk mikro atol.
Kamis, 03 Desember 2009
ZOOPLANKTON
Pengertian Plankton
Plankton adalah mikroorganisme yang hidup melayang dalam air, dimana kemampuan renangnya terbatas, menyebabkan mikroorganisme tersebut mudah hanyut oleh gerakan atau arus air (Bougis, 1976). Plankton sebagai organisme yang tidak dapat menyebar melawan pergerakan massa air, yang meliputi fitoplankton (plankton nabati), zooplankton (plankton hewani) dan bakterioplankton (bakteri).
Menurut Nybakken (1992), plankton adalah kelompok-kelompok organisme yang hanyut bebas dalam laut dan daya renangnya sangat lemah. Kemampuan berenang organisme-organisme planktonik demikian lemah sehingga mereka sama sekali dikuasai oleh gerakan air, hal ini berbeda dengan hewan laut lainnya yang memiliki gerakan dan daya renang yang cukup kuat untuk melawan arus laut. Plankton adalah suatu organisme yang terpenting dalam ekosistem laut, kemudian dikatakan bahwa plankton merupakan salah satu organisme yang berukuran kecil dimana hidupnya terombang-ambing oleh arus perairan laut (Hutabarat dan Evans, 1988)
Menurut ukurannya, plankton dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu makroplankton (lebih besar dari 1 mm), mikroplankton (0,06 mm – 1 mm) dan nanoplankton (kurang dari 0,06 mm) meliputi berbagai jenis fitoplankton. Diperkirakan 70 % dari semua fitoplankton di laut terdiri dari nanoplankton dan inilah yang memungkinkan terdapatnya zooplankton sebagai konsumer primer (Sachlan, 1972).
Berdasarkan daur hidupnya, plankton terbagi dalam dua golongan yaitu holoplankton yang merupakan organisme akuatik dimana seluruh hidupnya bersifat sebagai plankton, golongan kedua yaitu meroplankton yang hanya sebagian dari daur hidupnya bersifat sebagai plankton (Bougis, 1976; Nybakken, 1992).
Berdasarkan keadaan biologisnya, Newel (1963) menggolongkan plankton sebagai berikut : (a) Fitoplankton yang merupakan tumbuhan renik, (b) Zooplankton yang merupakan hewan-hewan yang umumnya renik.
Zooplankton
Pengertian Zooplankton
Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, sangat beraneka ragam dan terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Zooplankton memiliki ukuran yang lebih besar dari fitoplankton (Nontji, 1987).
Effendi (1997) membagi ukuran zooplankton dengan ketentuan khusus, yaitu makrozooplankton yang berukuran lebih besar dari 2 cm, dan mesozooplankton yang berukuran 200 – 20.000 m. Larva ikan maupun ikan-ikan muda yang bersifat planktonik disebut ichtyoplankton umumnya berukuran besar. Umumnya zooplankton mempunyai alat gerak seperti flagel, cilia atau kaki renang, namun tidak dapat melawan pergerakan air (Raymont, 1963).
Komposisi dan Kelimpahan Zooplankton
Komposisi jenis zooplankton sangat bervariasi di berbagai wilayah laut. Bagian terbesar dari organisme zooplankton adalah anggota filum Arthropoda dan hampir semuanya termasuk kelas Crustacea. Holoplankton yang paling umum ditemukan di laut adalah Copepoda. Copepoda merupakan zooplankton yang mendominasi di semua laut dan samudera, serta merupakan herbivora utama dalam perairan-perairan bahari dan memiliki kemampuan menentukan bentuk kurva populasi fitoplankton. Copepoda berperan sebagai mata rantai yang amat penting antara produksi primer fitoplankton dengan para karnivora besar dan kecil (Nybakken,1992).
Romimohtarto dan Juwana (1998) menyatakan bahwa Crustacea merupakan jenis zooplankton yang terpenting bagi ikan-ikan, baik di perairan tawar maupun di perairan laut. Diantara anggota filum Arthropoda, hanya Crustacea yang dapat hidup sebagai plankton dalam perairan.
Menurut Davis (1955), kelimpahan zooplankton sangat ditentukan oleh adanya fitoplankton, karena fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton. Silvania (1990) mengemukakan bahwa di perairan fitoplankton mempunyai peranan sebagai produsen yang merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme lainnya. Hal ini juga didukung oleh Arinardi (1977) yang menyatakan bahwa kepadatan zooplankton sangat tergantung pada kepadatan fitoplankton, karena fitoplankton adalah makanan bagi zooplankton, dengan demikian kuantitas atau kelimpahan zooplankton akan tinggi di perairan yang tinggi kandungan fitoplanktonnya.
Zooplankton merupakan organisme penting dalam proses pemanfaatan dan pemindahan energi karena merupakan penghubung antara produsen dengan hewan-hewan pada tingkat tropik yang lebih tinggi. Dengan demikian populasi yang tinggi dari zooplankton hanya mungkin dicapai bila jumlah fitoplankton tinggi. Namun dalam kenyataannya tidak selalu benar dimana seringkali dijumpai kandungan zooplankton yang rendah meskipun kandungan fitoplankton sangat tinggi. Hal ini dapat diterangkan dengan adanya “The Theory of Differential Growth Rate” (Teori Perbedaan Kecepatan Tumbuh) yang dikemukakan oleh Steeman dan Nielsen (1973) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan zooplankton tergantung pada fitoplankton tetapi karena pertumbuhannya lebih lambat dari fitoplankton maka populasi maksimum zooplankton akan tercapai beberapa waktu setelah populasi maksimum fitoplankton berlalu.
Selain itu terdapat pula teori yang menerangkan terjadinya hubungan terbalik antara zooplankton dan fitoplankton, teori ini dikenal dengan “Theory of Grazing” yaitu dimakannya fitoplankton oleh zooplankton yang dikemukakan oleh Harvey et. al (1935). Bila populasi zooplankton meningkat, pemangsaan fitoplankton akan sedemikian cepatnya sehingga fitoplankton tidak sempat membelah diri, jika jumlah zooplankton menurun dan menjadi sedikit maka hal ini memberi kesempatan kepada fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak sehingga menghasilkan konsentrasi yang tinggi (Davis, 1955).
Distribusi Zooplankton
Penyebaran fitoplankton lebih merata dibandingkan dengan penyebaran zooplankton. Zooplankton beruaya ke arah mendatar dan tegak mengikuti kelompok fitoplankton dan jika sudah mencapai tingkat kepedatan tertentu perkembangan zooplankton akan berkurang sedangkan fitoplankton bertambah (Nybakken, 1992).
Zooplankton melakukan migrasi secara vertikal. Migrasi vertikal ialah migrasi harian yang dilakukan oleh organisme zooplankton tertentu ke arah dasar laut pada siang hari dan ke arah permukaan laut pada malam hari. Rangsangan utama yang mengakibatkan terjadinya migrasi vertikal harian pada zooplankton adalah cahaya. Cahaya mengakibatkan respon negatif bagi para migran, mereka bergerak menjauhi permukaan laut bila intensitas cahaya di permukaan meningkat. Sebaliknya mereka akan bergerak ke arah permukaan laut bila intensitas cahaya di permukaan menurun (Prasad, 1956).
Pola yang umum tampak adalah bahwa zooplankton terdapat di dekat permukaan laut pada malam hari, sedangkan menjelang dini hari dan datangnya cahaya mereka bergerak lebih ke dalam. Dengan meningkatnya intensitas cahaya sepanjang pagi hari, zooplankton bergerak lebih ke dalam menjauhi permukaan laut dan biasanya mempertahankan posisinya pada kedalaman dengan intensitas cahaya tertentu. Di tengah hari atau ketika intensitas cahaya matahari maksimal, zooplankton berada pada kedalaman paling jauh. Kemudian tatkala intensitas cahaya matahari sepanjang sore hari menurun, zooplankton mulai bergerak ke arah permukaan laut dan sampai di permukaan sesudah matahari terbenam dan masih tinggal di permukaan selama fajar belum tiba.
Migrasi vertikal merupakan suatu fenomena universal yang dilakukan oleh zooplankton tertentu. Perangsang utama yaitu cahaya, namun perangsang ini dapat dimodifikasi oleh faktor lain seperti suhu. Beberapa alasan zooplankton melakukan migrasi vertikal ialah (1) untuk menghindari pemangsaan oleh para predator yang mendeteksi mangsa secara visual; (2) untuk mengubah posisi dalam kolom air; dan (3) sebagai mekanisme untuk meningkatkan produksi dan menghemat energi (Nybakken, 1992).
Peranan Zooplankton
Brooks (1969) menjelaskan bahwa zooplankton yang meliputi semua hewan yang umumnya renik adalah bersifat herbivora yang memakan fitoplankton. Hampir seluruh zooplankton sangat tergantung pada fitoplankton dan pada trophic level zooplankton menempati tingkat kedua setelah fitoplankton (Davis, 1955).
Dalam rantai makanan, fitoplankton dimakan oleh hewan herbivora yang merupakan konsumen pertama. Konsumen pertama ini pada umumnya berupa zooplankton yang kemudian dimangsa pula oleh oleh hewan karnivora yang lebih besar sebagai konsumen kedua. Demikianlah seterusnya rangkaian karnivora memangsa karnivora lain (Nontji, 1987).
Sebagai herbivora primer di ekosistem perairan, peranan zooplankton sangat penting artinya karena dapat mengontrol kelimpahan fitoplankton. Dengan demikian zooplankton berperan sebagai mata rantai antara produsen primer dengan karnivora besar dan kecil (Nybakken, 1992). Struktur komunitas dan pola penyebaran zooplankton dapat dijadikan sebagai salah satu indikator biologi dalam menentukan perubahan kondisi perairan.
Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman atau “Diversity Index” diartikan sebagai suatu gambaran secara matematik yang melukiskan struktur informasi-informasi mengenai jumlah spesies suatu organisme. Indeks keanekaragaman akan mempermudah dalam menganalisis informasi-informasi mengenai jumlah individu dan jumlah spesies suatu organisme. Suatu cara yang paling sederhana untuk menyatakan indeks keanekaragaman yaitu dengan menentukan persentase komposisi dari spesies di dalam sampel. Semakin banyak spesies yang terdapat dalam suatu sampel, semakin besar keanekaragaman, meskipun harga ini juga sangat tergantung dari jumlah total individu masing-masing spesies (Kaswadji, 1976) .
Indeks keanekaragaman dapat dijadikan petunjuk seberapa besar tingkat pencemaran suatu perairan. Dasar penilaian kualitas air berdasarkan nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiever (Wardoyo, 1974)
Nilai Indeks Kualitas Air Keterangan
3,0 - 4,5 Tercemar sangat ringan Menurut Shetty et al (1963)
2,0 - 3,0 Tercemar ringan
1,0 - 2,0 Tercemar sedang
0,0 - 1,0 Tercemar berat
Indeks Keseragaman
Dalam suatu komunitas, kemerataan individu tiap spesies dapat diketahui dengan menghitung indeks keseragaman. Indeks keseragaman ini merupakan suatu angka yang tidak bersatuan, yang besarnya antara 0 – 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, berarti penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama dan ada kecenderungan bahwa suatu spesies mendominasi populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, maka populasi menunjukkan keseragaman, yang berarti bahwa jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau merata (Pasengo, 1995).
Indeks Dominansi
Dominansi jenis zooplankton dapat diketahui dengan menghitung Indeks Dominansi (C). Nilai indeks dominansi mendekati satu jika suatu komunitas didominasi oleh jenis atau spesies tertentu dan jika tidak ada jenis yang dominan, maka nilai indeks dominansinya mendekati nol (Odum, 1971).
Parameter Lingkungan
Kehidupan organisme dalam air sangat tergantung pada kualitas air setempat, sehingga baik tumbuhan maupun hewan yang termasuk dalam ekosistem perairan secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia airnya (Odum, 1971).
Faktor abiotik seperti cahaya, suhu, kecerahan, salinitas dan ketersediaan unsur-unsur hara sangat menentukan kelimpahan plankton sebagai salah satu komponen biotik di dalam perairan (Welch, 1952).
Arus
Arus adalah gerakan massa air permukaan yang ditimbulkan terutama oleh pengaruh angin. Arus dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti gravitasi bumi, keadaan dasar, distribusi pantai dan gerakan rotasi bumi terutama arus-arus yang skala lintasannya besar seperti arus-arus laut bebas (Nybakken, 1992).
Akibat yang paling menguntungkan dari adanya arus ialah adanya kemungkinan transpor bahan-bahan makanan dari satu daerah ke daerah lain. Tetapi adapula kemungkinan bahwa bahan-bahan pencemar terangkut ke daerah yang lebih luas. Arus membantu menyebarkan organisme, terutama organisme-organisme planktonik. Arus juga menyebarkan telur dan larva berbagai hewan akuatik sehingga dapat mengurangi persaingan makanan dengan induk mereka (Koesoebiono, 1981). Selanjutnya oleh Wickstead (1965), dikatakan bahwa arus sangat penting artinya bagi sebaran plankton di laut. Arus permukaan maupun arus dasar perairan menyebabkan plankton dapat tersebar tidak merata dalam volume air laut.
Menurut Mason (1981), berdasarkan kecepatan arusnya maka perairan dapat dikelompokkan menjadi berarus sangat cepat (> 100 cm/dtk), cepat (50 – 100 cm/dtk), sedang (25 – 50 cm/dtk), lambat (10 – 25 cm/dtk) dan sangat lambat (< 10 cm/dtk).
Suhu (˚C)
Suhu merupakan parameter yang penting dalam lingkungan laut dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan laut. Menurut Hutabarat dan Evans (1988), suhu adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan organisme tersebut. Selanjutnya Odum (1971) menyatakan bahwa suhu air mempunyai peranan penting dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi biota air, sehingga kebutuhan akan oksigen terlarut juga meningkat. Menurut Wardoyo (1974), makin tinggi suhu, kadar garam dan tekanan parsial gas-gas yang terlarut dalam air maka kelarutan oksigen dalam air berkurang.
Pengaruh suhu pada plankton larva tidak seragam di seluruh perairan dan terhadap masing-masing kelompok atau populasi. Pada telur yang sedang berkembang dan larva dari hewan laut, toleransi terhadap suhu air laut cenderung bertambah ketika mereka menjadi lebih tua. Dalam perubahan suhu tersebut, pertumbuhan larva dipercepat oleh suhu yang lebih tinggi (Romimohtarto dan Juwana, 1998).
Menurut Ray dan Rao (1964), secara umum suhu optimal bagi perkembangan plankton adalah 20˚C - 30˚C. Selanjutnya Shetty et al (1963) mengatakan bahwa setiap organisme hidup mempunyai batas toleransi terhadap suhu di sekitarnya.
Salinitas
Salinitas adalah garam-garam terlarut dalam satu kilogram air laut dan dinyatakan dalam satuan perseribu (Nybakken, 1992). Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam air laut terlarut macam-macam garam terutama NaCl, selain itu terdapat pula garam-garam magnesium, kalium dan sebagainya (Nontji, 1987). Kandungan garam di laut tidak sama di berbagai tempat. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.
Friendrich (1969) mengemukakan bahwa Copepoda mampu hidup pada kisaran salinitas tertentu bahkan pada kondisi anaerob untuk Copepoda pelagis. Acartia longiremis hidup pada kisaran salinitas 6 – 35 o/oo , Centropages hamatus hidup pada kisaran salinitas 13 – 23 o/oo , Paracalanus parvus pada kisaran 19–34o/oo , dan Acrocalanus gibber dapat menyesuaikan diri pada kisaran salinitas 32 -35 o/oo .
Salinitas mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan organisme, misalnya dalam hal distribusi biota laut akuatik. Salinitas merupakan parameter yang berperan dalam lingkungan ekologi laut. Beberapa organisme ada yang tahan terhadap perubahan salinitas yang besar, ada pula yang tahan terhadap salinitas yang kecil (Nybakken, 1992).
Menurut Sachlan (1972), pada salinitas 0 - 10 o/oo hidup plankton air tawar, pada salinitas 10 – 20 o/oo hidup plankton air tawar dan laut, sedangkan pada salinitas yang lebih besar dari 20 o/oo hidup plankton air laut.
Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan hasil pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat akan meningkatkan keasaman (Saeni, 1989).
Boyd dan Linchtkopler (1979) menyatakan bahwa pH air sangat dipengaruhi oleh karbondioksida sebagai substansi asam. Fitoplankton dan vegetasi air lainnya mengurangi konsentrasi karbondioksida dalam air selama proses fotosintesis sehingga pH air akan turun pada malam hari.
Nilai pH suatu perairan adalah salah satu parameter yang cukup penting dalam memantau kualitas air. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktifitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme (Pescod, 1973). Menurut Omori dan Ikeda (1984) menyatakan bahwa pH air laut dianggap sebagai salah satu faktor utama yang membatasi laju pertumbuhan plankton dan nilainya berkisar antara 7,0 – 8,5.
Suatu perairan dengan pH 5,5 – 6,5 dan pH yang lebih besar dari 8,5 termasuk perairan yang tidak produktif dan perairan dengan pH antara 7,5 – 8,5 mempunyai produksi yang sangat tinggi (Kaswadji, 1976).
Oksigen Terlarut
Oksigen adalah suatu zat yang sangat esensial bagi pernafasan dan merupakan suatu komponen yang utama bagi metabolisme ikan dan organisme lainnya. Oksigen di perairan bersumber dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya, air hujan dan aliran permukaan yang masuk, sehingga tinggi rendahnya kadar oksigen dalam air banyak bergantung pada kondisi gelombang, suhu, salinitas, tekanan parsial gas-gas yang ada di udara maupun di air, kedalaman serta potensi biotik perairan. Makin tinggi suhu, salinitas dan tekanan parsial gas-gas terlarut di dalam air, maka kelarutan oksigen dalam air makin berkurang (Odum, 1971).
Menurut Hutagalung dkk (1997), adanya kenaikan suhu air, respirasi (khususnya malam hari), lapisan minyak di atas permukaan laut dan masuknya limbah organik yang mudah terurai ke lingkungan laut dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut.
Oksigen dibutuhkan oleh semua organisme, termasuk plankton. Pada siang hari proses fotosintesis akan menghasilkan gelembung oksigen yang akan dimanfaatkan oleh organisme laut termasuk zooplankton. Pengurangan oksigen dalam air dapat mengurangi kecepatan tumbuh dan menyebabkan kematian. Menurut Pescod (1976) kelarutan oksigen 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik, selama perairan tersebut tidak mengandung bahan toksik.
Kekeruhan
Kekeruhan adalah suatu ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi yang terkandung dalam air (Wardoyo, 1974). Selanjutnya dikatakan bahwa warna air umumnya disebabkan oleh senyawa-senyawa organisme nabati seperti tanin, asam humus, gambut, plankton dan tanaman air. Kekeruhan air umumnya memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan kecerahan air. Kekeruhan merupakan sifat optik dari suatu larutan yaitu hamburan dan absorbsi cahaya yang melaluinya dan tidak dapat dihubungkan secara langsung antara kekeruhan dengan kadar semua zat suspensi karena bergantung juga kepada ukuran dan bentuk butir (Alaerts dan Santika, 1987).
Boyd (1979) menyatakan kekeruhan dapat disebabkan oleh suspensi partikel, yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi organisme perairan. Kekeruhan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan organisme yang menyesuaikan diri pada air yang jernih menjadi terhambat dan dapat pula menyebabkan kematian karena mengganggu pernafasan (Michael, 1994).
Kekeruhan yang tinggi dapat mengkibatkan terganggunya sistem osmoregulasi misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik termasuk zooplankton, sehingga dapat mempengaruhi perkembangbiakan plankton larva dan dapat mengakibatkan kematian (Effendi, 1997). Menurut Baka (1996) bahwa kekeruhan perairan yang kurang dari 5 NTU tergolong perairan yang jernih.
Plankton adalah mikroorganisme yang hidup melayang dalam air, dimana kemampuan renangnya terbatas, menyebabkan mikroorganisme tersebut mudah hanyut oleh gerakan atau arus air (Bougis, 1976). Plankton sebagai organisme yang tidak dapat menyebar melawan pergerakan massa air, yang meliputi fitoplankton (plankton nabati), zooplankton (plankton hewani) dan bakterioplankton (bakteri).
Menurut Nybakken (1992), plankton adalah kelompok-kelompok organisme yang hanyut bebas dalam laut dan daya renangnya sangat lemah. Kemampuan berenang organisme-organisme planktonik demikian lemah sehingga mereka sama sekali dikuasai oleh gerakan air, hal ini berbeda dengan hewan laut lainnya yang memiliki gerakan dan daya renang yang cukup kuat untuk melawan arus laut. Plankton adalah suatu organisme yang terpenting dalam ekosistem laut, kemudian dikatakan bahwa plankton merupakan salah satu organisme yang berukuran kecil dimana hidupnya terombang-ambing oleh arus perairan laut (Hutabarat dan Evans, 1988)
Menurut ukurannya, plankton dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu makroplankton (lebih besar dari 1 mm), mikroplankton (0,06 mm – 1 mm) dan nanoplankton (kurang dari 0,06 mm) meliputi berbagai jenis fitoplankton. Diperkirakan 70 % dari semua fitoplankton di laut terdiri dari nanoplankton dan inilah yang memungkinkan terdapatnya zooplankton sebagai konsumer primer (Sachlan, 1972).
Berdasarkan daur hidupnya, plankton terbagi dalam dua golongan yaitu holoplankton yang merupakan organisme akuatik dimana seluruh hidupnya bersifat sebagai plankton, golongan kedua yaitu meroplankton yang hanya sebagian dari daur hidupnya bersifat sebagai plankton (Bougis, 1976; Nybakken, 1992).
Berdasarkan keadaan biologisnya, Newel (1963) menggolongkan plankton sebagai berikut : (a) Fitoplankton yang merupakan tumbuhan renik, (b) Zooplankton yang merupakan hewan-hewan yang umumnya renik.
Zooplankton
Pengertian Zooplankton
Zooplankton merupakan anggota plankton yang bersifat hewani, sangat beraneka ragam dan terdiri dari bermacam larva dan bentuk dewasa yang mewakili hampir seluruh filum hewan. Zooplankton memiliki ukuran yang lebih besar dari fitoplankton (Nontji, 1987).
Effendi (1997) membagi ukuran zooplankton dengan ketentuan khusus, yaitu makrozooplankton yang berukuran lebih besar dari 2 cm, dan mesozooplankton yang berukuran 200 – 20.000 m. Larva ikan maupun ikan-ikan muda yang bersifat planktonik disebut ichtyoplankton umumnya berukuran besar. Umumnya zooplankton mempunyai alat gerak seperti flagel, cilia atau kaki renang, namun tidak dapat melawan pergerakan air (Raymont, 1963).
Komposisi dan Kelimpahan Zooplankton
Komposisi jenis zooplankton sangat bervariasi di berbagai wilayah laut. Bagian terbesar dari organisme zooplankton adalah anggota filum Arthropoda dan hampir semuanya termasuk kelas Crustacea. Holoplankton yang paling umum ditemukan di laut adalah Copepoda. Copepoda merupakan zooplankton yang mendominasi di semua laut dan samudera, serta merupakan herbivora utama dalam perairan-perairan bahari dan memiliki kemampuan menentukan bentuk kurva populasi fitoplankton. Copepoda berperan sebagai mata rantai yang amat penting antara produksi primer fitoplankton dengan para karnivora besar dan kecil (Nybakken,1992).
Romimohtarto dan Juwana (1998) menyatakan bahwa Crustacea merupakan jenis zooplankton yang terpenting bagi ikan-ikan, baik di perairan tawar maupun di perairan laut. Diantara anggota filum Arthropoda, hanya Crustacea yang dapat hidup sebagai plankton dalam perairan.
Menurut Davis (1955), kelimpahan zooplankton sangat ditentukan oleh adanya fitoplankton, karena fitoplankton merupakan makanan bagi zooplankton. Silvania (1990) mengemukakan bahwa di perairan fitoplankton mempunyai peranan sebagai produsen yang merupakan sumber energi bagi kehidupan organisme lainnya. Hal ini juga didukung oleh Arinardi (1977) yang menyatakan bahwa kepadatan zooplankton sangat tergantung pada kepadatan fitoplankton, karena fitoplankton adalah makanan bagi zooplankton, dengan demikian kuantitas atau kelimpahan zooplankton akan tinggi di perairan yang tinggi kandungan fitoplanktonnya.
Zooplankton merupakan organisme penting dalam proses pemanfaatan dan pemindahan energi karena merupakan penghubung antara produsen dengan hewan-hewan pada tingkat tropik yang lebih tinggi. Dengan demikian populasi yang tinggi dari zooplankton hanya mungkin dicapai bila jumlah fitoplankton tinggi. Namun dalam kenyataannya tidak selalu benar dimana seringkali dijumpai kandungan zooplankton yang rendah meskipun kandungan fitoplankton sangat tinggi. Hal ini dapat diterangkan dengan adanya “The Theory of Differential Growth Rate” (Teori Perbedaan Kecepatan Tumbuh) yang dikemukakan oleh Steeman dan Nielsen (1973) yang menyebutkan bahwa pertumbuhan zooplankton tergantung pada fitoplankton tetapi karena pertumbuhannya lebih lambat dari fitoplankton maka populasi maksimum zooplankton akan tercapai beberapa waktu setelah populasi maksimum fitoplankton berlalu.
Selain itu terdapat pula teori yang menerangkan terjadinya hubungan terbalik antara zooplankton dan fitoplankton, teori ini dikenal dengan “Theory of Grazing” yaitu dimakannya fitoplankton oleh zooplankton yang dikemukakan oleh Harvey et. al (1935). Bila populasi zooplankton meningkat, pemangsaan fitoplankton akan sedemikian cepatnya sehingga fitoplankton tidak sempat membelah diri, jika jumlah zooplankton menurun dan menjadi sedikit maka hal ini memberi kesempatan kepada fitoplankton untuk tumbuh dan berkembang biak sehingga menghasilkan konsentrasi yang tinggi (Davis, 1955).
Distribusi Zooplankton
Penyebaran fitoplankton lebih merata dibandingkan dengan penyebaran zooplankton. Zooplankton beruaya ke arah mendatar dan tegak mengikuti kelompok fitoplankton dan jika sudah mencapai tingkat kepedatan tertentu perkembangan zooplankton akan berkurang sedangkan fitoplankton bertambah (Nybakken, 1992).
Zooplankton melakukan migrasi secara vertikal. Migrasi vertikal ialah migrasi harian yang dilakukan oleh organisme zooplankton tertentu ke arah dasar laut pada siang hari dan ke arah permukaan laut pada malam hari. Rangsangan utama yang mengakibatkan terjadinya migrasi vertikal harian pada zooplankton adalah cahaya. Cahaya mengakibatkan respon negatif bagi para migran, mereka bergerak menjauhi permukaan laut bila intensitas cahaya di permukaan meningkat. Sebaliknya mereka akan bergerak ke arah permukaan laut bila intensitas cahaya di permukaan menurun (Prasad, 1956).
Pola yang umum tampak adalah bahwa zooplankton terdapat di dekat permukaan laut pada malam hari, sedangkan menjelang dini hari dan datangnya cahaya mereka bergerak lebih ke dalam. Dengan meningkatnya intensitas cahaya sepanjang pagi hari, zooplankton bergerak lebih ke dalam menjauhi permukaan laut dan biasanya mempertahankan posisinya pada kedalaman dengan intensitas cahaya tertentu. Di tengah hari atau ketika intensitas cahaya matahari maksimal, zooplankton berada pada kedalaman paling jauh. Kemudian tatkala intensitas cahaya matahari sepanjang sore hari menurun, zooplankton mulai bergerak ke arah permukaan laut dan sampai di permukaan sesudah matahari terbenam dan masih tinggal di permukaan selama fajar belum tiba.
Migrasi vertikal merupakan suatu fenomena universal yang dilakukan oleh zooplankton tertentu. Perangsang utama yaitu cahaya, namun perangsang ini dapat dimodifikasi oleh faktor lain seperti suhu. Beberapa alasan zooplankton melakukan migrasi vertikal ialah (1) untuk menghindari pemangsaan oleh para predator yang mendeteksi mangsa secara visual; (2) untuk mengubah posisi dalam kolom air; dan (3) sebagai mekanisme untuk meningkatkan produksi dan menghemat energi (Nybakken, 1992).
Peranan Zooplankton
Brooks (1969) menjelaskan bahwa zooplankton yang meliputi semua hewan yang umumnya renik adalah bersifat herbivora yang memakan fitoplankton. Hampir seluruh zooplankton sangat tergantung pada fitoplankton dan pada trophic level zooplankton menempati tingkat kedua setelah fitoplankton (Davis, 1955).
Dalam rantai makanan, fitoplankton dimakan oleh hewan herbivora yang merupakan konsumen pertama. Konsumen pertama ini pada umumnya berupa zooplankton yang kemudian dimangsa pula oleh oleh hewan karnivora yang lebih besar sebagai konsumen kedua. Demikianlah seterusnya rangkaian karnivora memangsa karnivora lain (Nontji, 1987).
Sebagai herbivora primer di ekosistem perairan, peranan zooplankton sangat penting artinya karena dapat mengontrol kelimpahan fitoplankton. Dengan demikian zooplankton berperan sebagai mata rantai antara produsen primer dengan karnivora besar dan kecil (Nybakken, 1992). Struktur komunitas dan pola penyebaran zooplankton dapat dijadikan sebagai salah satu indikator biologi dalam menentukan perubahan kondisi perairan.
Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman atau “Diversity Index” diartikan sebagai suatu gambaran secara matematik yang melukiskan struktur informasi-informasi mengenai jumlah spesies suatu organisme. Indeks keanekaragaman akan mempermudah dalam menganalisis informasi-informasi mengenai jumlah individu dan jumlah spesies suatu organisme. Suatu cara yang paling sederhana untuk menyatakan indeks keanekaragaman yaitu dengan menentukan persentase komposisi dari spesies di dalam sampel. Semakin banyak spesies yang terdapat dalam suatu sampel, semakin besar keanekaragaman, meskipun harga ini juga sangat tergantung dari jumlah total individu masing-masing spesies (Kaswadji, 1976) .
Indeks keanekaragaman dapat dijadikan petunjuk seberapa besar tingkat pencemaran suatu perairan. Dasar penilaian kualitas air berdasarkan nilai indeks keanekaragaman dapat dilihat dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kriteria Kualitas Air Berdasarkan Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiever (Wardoyo, 1974)
Nilai Indeks Kualitas Air Keterangan
3,0 - 4,5 Tercemar sangat ringan Menurut Shetty et al (1963)
2,0 - 3,0 Tercemar ringan
1,0 - 2,0 Tercemar sedang
0,0 - 1,0 Tercemar berat
Indeks Keseragaman
Dalam suatu komunitas, kemerataan individu tiap spesies dapat diketahui dengan menghitung indeks keseragaman. Indeks keseragaman ini merupakan suatu angka yang tidak bersatuan, yang besarnya antara 0 – 1, semakin kecil nilai indeks keseragaman, semakin kecil pula keseragaman suatu populasi, berarti penyebaran jumlah individu tiap spesies tidak sama dan ada kecenderungan bahwa suatu spesies mendominasi populasi tersebut. Sebaliknya semakin besar nilai indeks keseragaman, maka populasi menunjukkan keseragaman, yang berarti bahwa jumlah individu tiap spesies boleh dikatakan sama atau merata (Pasengo, 1995).
Indeks Dominansi
Dominansi jenis zooplankton dapat diketahui dengan menghitung Indeks Dominansi (C). Nilai indeks dominansi mendekati satu jika suatu komunitas didominasi oleh jenis atau spesies tertentu dan jika tidak ada jenis yang dominan, maka nilai indeks dominansinya mendekati nol (Odum, 1971).
Parameter Lingkungan
Kehidupan organisme dalam air sangat tergantung pada kualitas air setempat, sehingga baik tumbuhan maupun hewan yang termasuk dalam ekosistem perairan secara langsung maupun tidak langsung dapat dipengaruhi oleh faktor fisika dan kimia airnya (Odum, 1971).
Faktor abiotik seperti cahaya, suhu, kecerahan, salinitas dan ketersediaan unsur-unsur hara sangat menentukan kelimpahan plankton sebagai salah satu komponen biotik di dalam perairan (Welch, 1952).
Arus
Arus adalah gerakan massa air permukaan yang ditimbulkan terutama oleh pengaruh angin. Arus dipengaruhi pula oleh faktor-faktor lain seperti gravitasi bumi, keadaan dasar, distribusi pantai dan gerakan rotasi bumi terutama arus-arus yang skala lintasannya besar seperti arus-arus laut bebas (Nybakken, 1992).
Akibat yang paling menguntungkan dari adanya arus ialah adanya kemungkinan transpor bahan-bahan makanan dari satu daerah ke daerah lain. Tetapi adapula kemungkinan bahwa bahan-bahan pencemar terangkut ke daerah yang lebih luas. Arus membantu menyebarkan organisme, terutama organisme-organisme planktonik. Arus juga menyebarkan telur dan larva berbagai hewan akuatik sehingga dapat mengurangi persaingan makanan dengan induk mereka (Koesoebiono, 1981). Selanjutnya oleh Wickstead (1965), dikatakan bahwa arus sangat penting artinya bagi sebaran plankton di laut. Arus permukaan maupun arus dasar perairan menyebabkan plankton dapat tersebar tidak merata dalam volume air laut.
Menurut Mason (1981), berdasarkan kecepatan arusnya maka perairan dapat dikelompokkan menjadi berarus sangat cepat (> 100 cm/dtk), cepat (50 – 100 cm/dtk), sedang (25 – 50 cm/dtk), lambat (10 – 25 cm/dtk) dan sangat lambat (< 10 cm/dtk).
Suhu (˚C)
Suhu merupakan parameter yang penting dalam lingkungan laut dan berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap lingkungan laut. Menurut Hutabarat dan Evans (1988), suhu adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme di lautan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangbiakan organisme tersebut. Selanjutnya Odum (1971) menyatakan bahwa suhu air mempunyai peranan penting dalam kecepatan laju metabolisme dan respirasi biota air, sehingga kebutuhan akan oksigen terlarut juga meningkat. Menurut Wardoyo (1974), makin tinggi suhu, kadar garam dan tekanan parsial gas-gas yang terlarut dalam air maka kelarutan oksigen dalam air berkurang.
Pengaruh suhu pada plankton larva tidak seragam di seluruh perairan dan terhadap masing-masing kelompok atau populasi. Pada telur yang sedang berkembang dan larva dari hewan laut, toleransi terhadap suhu air laut cenderung bertambah ketika mereka menjadi lebih tua. Dalam perubahan suhu tersebut, pertumbuhan larva dipercepat oleh suhu yang lebih tinggi (Romimohtarto dan Juwana, 1998).
Menurut Ray dan Rao (1964), secara umum suhu optimal bagi perkembangan plankton adalah 20˚C - 30˚C. Selanjutnya Shetty et al (1963) mengatakan bahwa setiap organisme hidup mempunyai batas toleransi terhadap suhu di sekitarnya.
Salinitas
Salinitas adalah garam-garam terlarut dalam satu kilogram air laut dan dinyatakan dalam satuan perseribu (Nybakken, 1992). Selanjutnya dinyatakan bahwa dalam air laut terlarut macam-macam garam terutama NaCl, selain itu terdapat pula garam-garam magnesium, kalium dan sebagainya (Nontji, 1987). Kandungan garam di laut tidak sama di berbagai tempat. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai.
Friendrich (1969) mengemukakan bahwa Copepoda mampu hidup pada kisaran salinitas tertentu bahkan pada kondisi anaerob untuk Copepoda pelagis. Acartia longiremis hidup pada kisaran salinitas 6 – 35 o/oo , Centropages hamatus hidup pada kisaran salinitas 13 – 23 o/oo , Paracalanus parvus pada kisaran 19–34o/oo , dan Acrocalanus gibber dapat menyesuaikan diri pada kisaran salinitas 32 -35 o/oo .
Salinitas mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan organisme, misalnya dalam hal distribusi biota laut akuatik. Salinitas merupakan parameter yang berperan dalam lingkungan ekologi laut. Beberapa organisme ada yang tahan terhadap perubahan salinitas yang besar, ada pula yang tahan terhadap salinitas yang kecil (Nybakken, 1992).
Menurut Sachlan (1972), pada salinitas 0 - 10 o/oo hidup plankton air tawar, pada salinitas 10 – 20 o/oo hidup plankton air tawar dan laut, sedangkan pada salinitas yang lebih besar dari 20 o/oo hidup plankton air laut.
Derajat Keasaman (pH)
Nilai pH merupakan hasil pengukuran konsentrasi ion hidrogen dalam larutan dan menunjukkan keseimbangan antara asam dan basa air. Adanya karbonat, hidroksida dan bikarbonat akan meningkatkan keasaman (Saeni, 1989).
Boyd dan Linchtkopler (1979) menyatakan bahwa pH air sangat dipengaruhi oleh karbondioksida sebagai substansi asam. Fitoplankton dan vegetasi air lainnya mengurangi konsentrasi karbondioksida dalam air selama proses fotosintesis sehingga pH air akan turun pada malam hari.
Nilai pH suatu perairan adalah salah satu parameter yang cukup penting dalam memantau kualitas air. Nilai pH dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain aktifitas biologis misalnya fotosintesis dan respirasi organisme (Pescod, 1973). Menurut Omori dan Ikeda (1984) menyatakan bahwa pH air laut dianggap sebagai salah satu faktor utama yang membatasi laju pertumbuhan plankton dan nilainya berkisar antara 7,0 – 8,5.
Suatu perairan dengan pH 5,5 – 6,5 dan pH yang lebih besar dari 8,5 termasuk perairan yang tidak produktif dan perairan dengan pH antara 7,5 – 8,5 mempunyai produksi yang sangat tinggi (Kaswadji, 1976).
Oksigen Terlarut
Oksigen adalah suatu zat yang sangat esensial bagi pernafasan dan merupakan suatu komponen yang utama bagi metabolisme ikan dan organisme lainnya. Oksigen di perairan bersumber dari difusi udara, fotosintesis fitoplankton dan tumbuhan air lainnya, air hujan dan aliran permukaan yang masuk, sehingga tinggi rendahnya kadar oksigen dalam air banyak bergantung pada kondisi gelombang, suhu, salinitas, tekanan parsial gas-gas yang ada di udara maupun di air, kedalaman serta potensi biotik perairan. Makin tinggi suhu, salinitas dan tekanan parsial gas-gas terlarut di dalam air, maka kelarutan oksigen dalam air makin berkurang (Odum, 1971).
Menurut Hutagalung dkk (1997), adanya kenaikan suhu air, respirasi (khususnya malam hari), lapisan minyak di atas permukaan laut dan masuknya limbah organik yang mudah terurai ke lingkungan laut dapat menurunkan kadar oksigen dalam air laut.
Oksigen dibutuhkan oleh semua organisme, termasuk plankton. Pada siang hari proses fotosintesis akan menghasilkan gelembung oksigen yang akan dimanfaatkan oleh organisme laut termasuk zooplankton. Pengurangan oksigen dalam air dapat mengurangi kecepatan tumbuh dan menyebabkan kematian. Menurut Pescod (1976) kelarutan oksigen 2 ppm sudah cukup untuk mendukung kehidupan biota akuatik, selama perairan tersebut tidak mengandung bahan toksik.
Kekeruhan
Kekeruhan adalah suatu ukuran biasan cahaya di dalam air yang disebabkan oleh adanya partikel koloid dan suspensi yang terkandung dalam air (Wardoyo, 1974). Selanjutnya dikatakan bahwa warna air umumnya disebabkan oleh senyawa-senyawa organisme nabati seperti tanin, asam humus, gambut, plankton dan tanaman air. Kekeruhan air umumnya memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan kecerahan air. Kekeruhan merupakan sifat optik dari suatu larutan yaitu hamburan dan absorbsi cahaya yang melaluinya dan tidak dapat dihubungkan secara langsung antara kekeruhan dengan kadar semua zat suspensi karena bergantung juga kepada ukuran dan bentuk butir (Alaerts dan Santika, 1987).
Boyd (1979) menyatakan kekeruhan dapat disebabkan oleh suspensi partikel, yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi organisme perairan. Kekeruhan yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan organisme yang menyesuaikan diri pada air yang jernih menjadi terhambat dan dapat pula menyebabkan kematian karena mengganggu pernafasan (Michael, 1994).
Kekeruhan yang tinggi dapat mengkibatkan terganggunya sistem osmoregulasi misalnya pernafasan dan daya lihat organisme akuatik termasuk zooplankton, sehingga dapat mempengaruhi perkembangbiakan plankton larva dan dapat mengakibatkan kematian (Effendi, 1997). Menurut Baka (1996) bahwa kekeruhan perairan yang kurang dari 5 NTU tergolong perairan yang jernih.
Pengertian Hutan Mangrove
Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut. (FAO, 1994).
Di Indonesia, mangrove telah dikenal sebagai hutan pasang surut dan hutan mangrove, atau hutan bakau. Akan tetapi, istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari istilah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu Rhizophora spp.
Karakteristik Hutan Mangrove
Karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorphologi, hidrologi dan drainase. Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut (Bengen, 2000):
• Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.
• Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.
• Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
• Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (hingga 38 permil).
Struktur Vegetasi Hutan Mangrove
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2000).
Selanjutnya, menurut Bengen (2000) bahwa vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili:
Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus).
Fauna Hutan Mangrove
Fauna yang hidup di ekosistem mangrove, terdiri dari berbagai kelompok, yaitu: mangrove avifauna, mangrove mammalia, mollusca, crustacea, dan fish fauna (Tomascik et al., 1997). Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok: (1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut. (2) Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu: yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang ; yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.
Hubungan Saling Bergantung Antara Berbagai Komponen Ekosistem Hutan Mangrove
Ekosistem merupakan satu atau serangkaian komunitas beserta lingkungan fisik dan kimianya yang hidup bersama-sama dan saling mempengaruhi (Nybakken, 1988). Tumbuhan mangrove mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumbe makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis; sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam berbagai kategori da tingkatan biota membentuk suatu rantai makanan
Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi ummat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan dan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya.
Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai, serta wisata alam. Secara ekonomi, hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang (charcoal) dan bahan baku kertas. Hutan mangrove juga merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya.
Permasalahan Hutan Mangrove di Indonesia
Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis.
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.
Barangkali, dari semua ancaman yang serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumberdaya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk tempat pembuangan sampah atau dikonversikan untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada hanya sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga di dunia akan menjadi sangat suram.
Rekomendasi Pengelolaan Hutan Mangrove
Mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan. Pada suatu negara dimana tekanan penduduk dan ekonomi terhadap zona pantai cukup tinggi, seperti halnya Indonesia, hutan mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber ekonomi nasional yang sangat berharga.
Pada umumnya ada keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi mangrove diantara penentu kebijakan dan masyarakat umumnya, dan akibatnya hutan mangrove seringkali dipandang sebagai areal-areal kritis/rusak serta tidak berharga, yang perlu dipakai untuk kegunaan pemanfatan lain yang produktif. Meskipun demikian, nilai hakiki ekosistem mangrove sangat besar dan hanya akan disadari ketika investasi besar diperlukan untuk melindungi pantai dan bangunan-bangunan treatment air, sehingga dilakukan upaya untuk merehabilitasi kembali fungsi alami hutan mangrove.
Pada dasarnya terdapat tiga pilihan untuk pengelolaan dan pengembangan mangrove: (1) Perlindungan ekosistem dalam bentuk aslinya; (2) Pemanfaatan ekosistem untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang didasarkan pada prinsip kelestarian; (3) Pengubahan (atau perusakan) ekosistem alami, biasanya untuk suatu pemanfaatan tertentu.
Dalam kenyataannya, pertimbangan ekonomi dan ekologis tidak dapat dipisahkan dalam mengevaluasi berbagai alternatif pengelolaan mangrove. Pernyataan ini mencerminkan tumbuhnya apresiasi makna ekonomi ekosistem mangrove. Karenanya, konservasi dan pemanfaatan mangrove tergantung sepenuhnya pada perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove.
Usulan pengembangan dan kegiatan insidential yang mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan pengelolaan sebagai berikut (Dahuri dkk., 1996):
• Peliharalah dasar dan karakter substrat hutan dan saluran-saluran air.
• Jaga kelangsungan pola-pola alamiah; skema aktivitas siklus pasang surut serta limpasan air tawar.
• Peliharalah pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah.
• Peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan sedimentasi.
• Tetapkan batas maksimum untuk seluruh hasil panen yang dapat diproduksi.
• Pada daerah-daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan-bahan beracun lainnya, harus memiliki rencana penanggulangan.
• Hindarkan semua kegiatan yang mengakibatkan pengurangan (impound) areal mangrove.
Mangrove merupakan formasi-formasi tumbuhan pantai yang khas di sepanjang pantai tropis dan sub tropis yang terlindung. Formasi mangrove merupakan perpaduan antara daratan dan lautan. Mangrove tergantung pada air laut (pasang) dan air tawar sebagai sumber makanannya serta endapan debu (silt) dari erosi daerah hulu sebagai bahan pendukung substratnya. Air pasang memberi makanan bagi hutan dan air sungai yang kaya mineral memperkaya sedimen dan rawa tempat mangrove tumbuh. Dengan demikian bentuk hutan mangrove dan keberadaannya dirawat oleh pengaruh darat dan laut. (FAO, 1994).
Di Indonesia, mangrove telah dikenal sebagai hutan pasang surut dan hutan mangrove, atau hutan bakau. Akan tetapi, istilah bakau sebenarnya hanya merupakan nama dari istilah satu jenis tumbuhan yang menyusun hutan mangrove, yaitu Rhizophora spp.
Karakteristik Hutan Mangrove
Karakteristik hutan mangrove dapat dilihat dari berbagai aspek seperti floristik, iklim, temperatur, salinitas, curah hujan, geomorphologi, hidrologi dan drainase. Secara umum, karakteristik habitat hutan mangrove digambarkan sebagai berikut (Bengen, 2000):
• Umumnya tumbuh pada daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempung atau berpasir.
• Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.
• Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.
• Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau (2-22 permil) hingga asin (hingga 38 permil).
Struktur Vegetasi Hutan Mangrove
Hutan mangrove meliputi pohon-pohonan dan semak yang terdiri dari 12 genera tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiceras, Aegiatilis, Snaeda dan Conocarpus) yang termasuk ke dalam delapan famili (Bengen, 2000).
Selanjutnya, menurut Bengen (2000) bahwa vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termasuk ke dalam empat famili:
Rhizophoraceae (Rhizophora, Bruguiera dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus).
Fauna Hutan Mangrove
Fauna yang hidup di ekosistem mangrove, terdiri dari berbagai kelompok, yaitu: mangrove avifauna, mangrove mammalia, mollusca, crustacea, dan fish fauna (Tomascik et al., 1997). Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok: (1) Kelompok fauna daratan/terestrial yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas insekta, ular primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai sifat adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut. (2) Kelompok fauna perairan/akuatik, yang terdiri atas dua tipe, yaitu: yang hidup di kolom air, terutama berbagai jenis ikan dan udang ; yang menempati substrat baik keras (akar dan batang pohon mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis invertebrata lainnya.
Hubungan Saling Bergantung Antara Berbagai Komponen Ekosistem Hutan Mangrove
Ekosistem merupakan satu atau serangkaian komunitas beserta lingkungan fisik dan kimianya yang hidup bersama-sama dan saling mempengaruhi (Nybakken, 1988). Tumbuhan mangrove mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumbe makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasah yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya). Sebagian serasah mangrove didekomposisi oleh bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan langsung oleh fitoplankton, algae ataupun tumbuhan mangrove itu sendiri dalam proses fotosintesis; sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus) dimanfaatkan oleh ikan, udang dan kepiting sebagai makanannya. Proses makan memakan dalam berbagai kategori da tingkatan biota membentuk suatu rantai makanan
Manfaat Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah vegetasi hutan yang hanya dapat tumbuh dan berkembang baik di daerah tropis, seperti Indonesia. Mangrove sangat penting artinya dalam pengelolaan sumberdaya di sebagian besar wilayah Indonesia. Fungsi mangrove yang terpenting bagi daerah pantai adalah menjadi penyambung darat dan laut. Tumbuhan, hewan, benda-benda lainnya dan nutrisi tumbuhan ditransfer ke arah darat atau ke arah laut melalui mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi ekologis dan ekonomi yang sangat bermanfaat bagi ummat manusia. Secara ekologis, hutan mangrove berfungsi sebagai daerah pemijahan (spawning grounds) dan daerah pembesaran (nursery grounds) berbagai jenis ikan dan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Selain itu, serasah mangrove (berupa daun, ranting dan biomassa lainnya) yang jatuh di perairan menjadi sumber pakan biota perairan dan unsur hara yang sangat menentukan produktivitas perikanan perairan laut di depannya. Lebih jauh, hutan mangrove juga merupakan habitat (rumah) bagi berbagai jenis burung, reptilia, mamalia dan jenis-jenis kehidupan lainnya, sehingga hutan mengrove menyediakan keanekaragaman (biodiversity) dan plasma nutfah (genetic pool) yang tinggi serta berfungsi sebagai sistem penunjang kehidupan. Dengan sistem perakaran dan canopy yang rapat serta kokoh, hutan mangrove juga berfungsi sebagai pelindung daratan dari gempuran gelombang, tsunami, angin topan, perembesan air laut dan gaya-gaya dari laut lainnya.
Potensi ekonomi mangrove diperoleh dari tiga sumber utama, yaitu hasil hutan, perikanan estuarin dan pantai, serta wisata alam. Secara ekonomi, hutan mangrove dapat dimanfaatkan kayunya secara lestari untuk bahan bangunan, arang (charcoal) dan bahan baku kertas. Hutan mangrove juga merupakan pemasok larva ikan, udang dan biota laut lainnya.
Permasalahan Hutan Mangrove di Indonesia
Pertambahan penduduk yang demikian cepat terutama di daerah pantai, mengakibatkan adanya perubahan tata guna lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan, hutan mangrove dengan cepat menjadi semakin menipis dan rusak di seluruh daerah tropis.
Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi areal hutan mangrove menjadi areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu juga, meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan eksploitasi berlebihan terhadap hutan mangrove. Kegiatan lain adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan, yang memberikan kontribusi terbesar bagi pengrusakan mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya.
Barangkali, dari semua ancaman yang serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan masyarakat umum dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumberdaya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk tempat pembuangan sampah atau dikonversikan untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu, perusahaan dan pemerintah daripada hanya sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Indonesia dan juga di dunia akan menjadi sangat suram.
Rekomendasi Pengelolaan Hutan Mangrove
Mangrove menggambarkan suatu sumber kekayaan dan keanekaragaman kehidupan. Pada suatu negara dimana tekanan penduduk dan ekonomi terhadap zona pantai cukup tinggi, seperti halnya Indonesia, hutan mangrove dikenal sebagai pelindung utama lingkungan pantai dan sumber ekonomi nasional yang sangat berharga.
Pada umumnya ada keterbatasan pemahaman tentang nilai dan fungsi mangrove diantara penentu kebijakan dan masyarakat umumnya, dan akibatnya hutan mangrove seringkali dipandang sebagai areal-areal kritis/rusak serta tidak berharga, yang perlu dipakai untuk kegunaan pemanfatan lain yang produktif. Meskipun demikian, nilai hakiki ekosistem mangrove sangat besar dan hanya akan disadari ketika investasi besar diperlukan untuk melindungi pantai dan bangunan-bangunan treatment air, sehingga dilakukan upaya untuk merehabilitasi kembali fungsi alami hutan mangrove.
Pada dasarnya terdapat tiga pilihan untuk pengelolaan dan pengembangan mangrove: (1) Perlindungan ekosistem dalam bentuk aslinya; (2) Pemanfaatan ekosistem untuk menghasilkan berbagai produk dan jasa yang didasarkan pada prinsip kelestarian; (3) Pengubahan (atau perusakan) ekosistem alami, biasanya untuk suatu pemanfaatan tertentu.
Dalam kenyataannya, pertimbangan ekonomi dan ekologis tidak dapat dipisahkan dalam mengevaluasi berbagai alternatif pengelolaan mangrove. Pernyataan ini mencerminkan tumbuhnya apresiasi makna ekonomi ekosistem mangrove. Karenanya, konservasi dan pemanfaatan mangrove tergantung sepenuhnya pada perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove.
Usulan pengembangan dan kegiatan insidential yang mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan pengelolaan sebagai berikut (Dahuri dkk., 1996):
• Peliharalah dasar dan karakter substrat hutan dan saluran-saluran air.
• Jaga kelangsungan pola-pola alamiah; skema aktivitas siklus pasang surut serta limpasan air tawar.
• Peliharalah pola-pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah.
• Peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan sedimentasi.
• Tetapkan batas maksimum untuk seluruh hasil panen yang dapat diproduksi.
• Pada daerah-daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan-bahan beracun lainnya, harus memiliki rencana penanggulangan.
• Hindarkan semua kegiatan yang mengakibatkan pengurangan (impound) areal mangrove.
Langganan:
Postingan (Atom)