Powered By Blogger

Kamis, 14 Oktober 2010

Masalah wilayah pesisr dan nilai suatu lahan dalam penataan ruang

Sebagai negara kepulauan, laut dan wilayah pesisir memiliki nilai strategis dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimilikinya sehingga berpotensi menjadi prime mover pengembangan wilayah nasional. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya. Agar pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir dapat terselenggara secara optimal, diperlukan upaya penataan ruang sebagai salah satu bentuk intervensi kebijakan dan penanganan khusus dari pemerintah dengan memperhatikan kepentingan stakeholders lainnya. Selain itu, implementasi penataan ruang perlu didukung oleh program-program sektoral baik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan masyarakat, termasuk dunia usaha. Dalam lingkup masyarakat, ada banyak hal yang harus diketahui sebelum melakukan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir ini. Banyak hal-hal yang mempengaruhi penataan ruang di sekitar wilayah pesisir sperti halnya ekosistem plantai dan laut.
Dengan karakteristik wilayah laut dan pesisir sebagaimana disampaikan di atas, wilayah laut dan pesisir menghadapi berbagai isu dan permasalahan terkait dengan penataan ruang sebagai berikut:
a. Potensi konflik kepentingan (conflict of interest) dan tumpang tindih antar sektor dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi beragamnya sumberdaya pesisir yang ada serta karakteristik wilayah pesisir yang “open acces” sehingga mendorong wilayah pesisir telah menjadi salah satu lokasi utama bagi kegiatan-kegiatan beberapa sektor pembangunan (multi-use). Dalam hal ini, konflik kepentingan tidak hanya terjadi antar “users”, yakni sektoral dalam pemerintahan dan juga masyarakat setempat dan pihak swasta, namun juga antar penggunaan antara lain (i) perikanan budidaya maupun tangkapan (ii) pariwisata bahari dan pantai (iii) industri maritime seperti perkapalan (iv), pertambangan, seperti minyak, gas, timah dan galian lainnya; (v) perhubungan laut dan alur pelayaran dan yang paling utama adalah (vi) kegiatan konservasi laut dan pesisir seperti hutan bakau (mangrove), terumbu karang dan biota laut lainnya.
b. Potensi konflik kewenangan (jurisdictional conflict) dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah laut dan pesisir. Kondisi ini muncul sebagai konsekuensi tidak berhimpitnya pembagian kewenangan yang terbagi menurut administrasi pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dengan kepentingan wilayah pesisir tersebut yang seringkali lintas wilayah otonom. Dalam Pasal 3 Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah menyatakan bahwa kewenangan Daerah Propinsi terdiri atas darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan. Sementara menurut pasal 10 UU 22/1999, kewenangan Daerah Kabupaten/Kota terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh sepertiga dari batas laut Daerah Propinsi atau sejauh 4 (empat) mil laut. Di satu sisi, kejelasan pembagian kewenangan ini diharapkan dapat meningkatkan keberlanjutan dari pemanfaatan sumberdaya pesisir, seiring dengan semakin pendeknya ”span control” dan semakin jelasnya akuntabilitasdalam pengelolaanya. Di sisi lain, justru hal ini berpotensi menimbulkan persoalan konflik antar wilayah dan potensi disintegrasi ketika kualitas pengelolaan sumberdaya kelautan dan pantai di daerah otonom tersebut sangat dipengaruhi oleh kegiatan yang berada di 9 wilayah Kabupaten/Kota lainnya yang berada pada bagian atas daratan, hulu atau yang bersebelahan.
c. Rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang bermatapencaharian di sektor-sektor non-perkotaan. Sebagian besar dari 126 kawasan tertinggal yang diidentifikasi dalam kajian Penyempurnaan RTRWN merupakan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
d. Timbul berbagai dampak pembangunan yang tidak hanya bersumber dari dalam wilayah pesisir, tetapi juga dari wilayah laut dan pedalaman. Hal ini merupakan konsekuensi dari fungsi wilayah pesisir sebagai “interface” antara ekosistem darat dan laut, wilayah pesisir (coastal areas) memiliki keterkaitan antara daratan dan laut. Dengan keterkaitan kawasan tersebut, maka pengelolaan kawasan di pesisir, laut dan pulau-pulau kecil tidak terlepas dari pengelolaan lingkungan yang dilakukan di kedua wilayah tersebut. Berbagai dampak lingkungan yang terjadi pada wilayah pesisir merupakan akibat dari kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di wilayah daratan beserta perubahan rona lingkungan yang diakibatkannya. Pembangunan wilayah daratan telah mengakibatkan 59 (lima puluh sembilan) SWS berada dalam kondisi kritis. Hal ini berdampak pada tingginya tingkat sedimentasi yang mengancam keberadaan padang lamun (sea grass) dan terumbu karang (coral), selain bencana banjir yang menimpa kawasan pesisir. Demikian pula dengan berbagai kegiatan yang dilakukan di laut lepas, seperti kegiatan pengeboran minyak lepas pantai dan perhubungan laut, juga menimbulkan polusi yang mengancam ekosistem pesisir. Penanggulangan permasalahan yang muncul di wilayah laut dan pesisir ini tidak dapat dilakukan hanya di wilayah pesisir saja, tetapi harus dilakukan mulai dari sumber dampaknya. Sebagai contoh, penanganan pendangkalan laut di kawasan pesisir tidak dapat diatasi dengan melakukan pengerukan, tetapi harus terintegrasi dengan pengelolaan kawasan lindung dan pembangunan waduk di bagian hulu. Dengan kata lain, pengelolaan di wilayah ini harus diintegrasikan dengan wilayah daratan dan laut serta daerah aliran sungai (DAS) menjadi satu kesatuan dalam keterpaduan pengelolaan, dimana keterkaitan antar ekosistem menjadi aspek yang haru diperhatikan.
e. Pemanfaatan potensi sumber daya kemaritiman yang tidak optimal, terutama di wilayah KTI dan perbatasan di mana sektor kelautan dan perikanan merupakan prime mover pengembangan wilayah. Hal ini diindikasikan antara lain oleh (i) kegiatan illegal fishing oleh nelayan asing di perairan Indonesia; (ii) tingkat pemanfaatan potensi perikanan tangkap yang melebihi potensi lestari3 sebagaimana terjadi di Selat Malaka yang mencapai 108,8% dari potensi yang ada atau mengalami overfishing sebesar 18,8% dan Laut Jawa (88,98%); (iii) pemanfaatan potensi perikanan tangkap yang belum optimal sebagaimana di Laut Cina Selatan (42,5%), Selat Makassar dan Laut Flores (66,7%), Laut Maluku (43,1%), Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (63,5%), dan Laut Arafura (53,8%); (iv) pemanfaatan potensi budidaya perikanan juga masih rendah, yakni baru mencapai 330 ribu hektar dari potensi sebesar 830 ribu hektar dan hanya 80% yang berupa tambak intensif; dan (v) nilai investasi baik PMA dan PMDN yang masuk, pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia.
f. Lemahnya kerangka hukum pengaturan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir serta perangkat hukum untuk penegakannya menyebabkan masih banyaknya pemanfaatan sumberdaya yang tidak terkendali. Juga tidak adanya kekuatan hukum dan pengakuan terhadap system-sistem tradisional serta wilayah laut dalam pengelolaan sumber daya pesisir. Dalam konteks ini, RTRW dalam berbagai tingkatan yang telah memiliki aspek legal berikut aturan-aturan pelaksanaanya seharusnya dapat dimanfaatkan sebagai “guidance” dalam pengelolaan wilayah pesisir.
g. Kenaikan muka air laut (sea level rise) sebagai akibat fenomena pemanasan global memberikan dampak yang serius terhadap wilayah pesisir yang perlu diantisipasi penanganannya. Diperkirakan akan ada 30 kota pantai di Indonesia yang potensial terkena dampak pemanasan global (20 kota di KBI dan 10 kota di KTI) sebagaimana disajikan dalam. Secara umum kenaikan muka air laut akan mengakibatkan dampak sebagai berikut: (a) meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d) ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya pulau-pulau kecil.

DAFTAR PUSTAKA
Sjarifuddi,A.,2002, Kebijakan Kimpraswil dalam rangka Percepatan Pembangunan Kelautan dan Perikanan, Makalah pada Rapat Koordinasi Nasional Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2002, Hotel Indonesia – Jakarta.
BKTRN, 2003., Dokumen Kesepakatan Gubernur Seluruh Indonesia pada Rakernas BKTRN, Surabaya.

1 komentar: